Hati hati beristinbath

Berhati-hatilah dalam ber-istinbath
Kami dikatakan telah menentang perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena kami berkeyakinan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang paling mulia.
Mereka sanggah keyakinan kami dengan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu (hadits no. 3490), dia berkata,
“Dikatakan, ‘Wahai Rasulullah siapakah manusia yang paling mulia ?’, beliau menjawab, ‘Yang paling bertakwa diantara mereka’. Mereka berkata, ‘Bukan tentang ini yang kami tanyakan kepadamu ‘. Beliau bersabda, ‘Yusuf Nabi Allah ‘

Mereka katakan bahwa jelas (qathi) bahwa Rasulullah telah menyampaikan dalam hadits tersebut bahwa manusia yang paling mulia adalah Nabi Yusuf a.s bukan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Mereka memahami hadits tersebut dengan apa yang kami katakan dengan metodologi “terjemahkan saja” atau memahami secara harfiah atau apa yang tertulis tanpa memperhatikan kaitan hadits yang lain atau riwayat turunnya hadits. Metodologi “terjemahkan saja” telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/15/2011/02/02/terjemahkan-saja/
Untuk itulah kami membuat tulisan membahas hadits yang mereka sampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/08/04/manusia-yang-mulia/
Kita harus berhati-hati dalam berhujjah atau beristinbath , menetapkan hukum perkara berdasarkan nash-nash Al Qur’an dan Hadits.
Tidak boleh sembarang orang dapat melakukan istinbath. Istinbath ataupun berfatwa harus dilakukan oleh orang yang berkompetensi sebagai mujtahid,  yang hafal atau paham Al Qur’an dan hafal atau paham banyak hadits. Syarat-syarat lainnya telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/08/04/2010/03/31/imam-mujtahid/
Tidak baik beristinbath terhadap satu atau beberapa hadits saja. Bahkan ada yang hanya berdasarkan bagian dari sebuah hadits saja.
Contoh, ketika seseorang menetapkan haram (terlarang)  atau makruh bagi yang sholat di atas sajadah berlandaskan hanya beberapa hujjah seperti
Al-Wâil bin Hajar berkata: “Aku melihat Rasulullâh Shallallahu alaihi wasallam, apabila beliau bersujud, beliau meletakkan dahi dan hidungnya di atas tanah“.
Ibnu ‘Abbâs berkata: “Sesungguhnya Nabi Shallallahu alaihi wasallam pernah melakukan sujud di atas batu“.
‘Âisya berkata: “Aku tidak pernah melihat Rasulullâh Shallallahu alaihi wasallam menyandarkan wajahnya (dahinya) ketika shalât dengan sesuatu apa pun, selain di atas batu atau tanah, ketika beliau melakukan sujud“.
Abu Hurairah berkata: “Aku melihat Rasullah shallallahu alaihi wasallam melakukan sujud pada hari turun hujan dan pada dahi beliau terdapat bekas-bekas tanah“.
Kita boleh sujud di atas tanah, hamparan batu maupun beralas tikar
Memang dalam sejarahnya dalam pelaksanaan sholat berkembang dari sholat langsung di atas tanah, di atas hamparan batu-batu kecil sehingga sampai saat ini di atas sajadah atau tikar atau sebuah alas berbahan apapun yang baik dan tidak berlebihan.
Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya berkata, telah menceritakan kepada kami Hisyam berkata, telah menceritakan kepadaku Bapakku dari ‘Aisyah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdiri shalat malam sedangkan aku berbaring membentang di atas tikarnya. Apabila akan melaksanakan shalat witir, beliau membangunkan aku hingga aku pun mengerjakan shalat witir.” (HR Bukhari 942)

Telah menceritakan kepada kami Musaddad dari Khalid berkata, telah menceritakan kepada kami Sulaiman Asy Syaibani dari ‘Abdullah bin Syidad dari Maimunah ia berkata, “Pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat sementara aku berada di sampingnya, dan saat itu aku sedang haid. Dan setiapkali beliau sujud, pakaian beliau mengenai aku. Dan beliau shalat di atas tikar kecil.” (HR Bukhari 366)

Telah menceritakan kepada kami Abu Al Walid berkata, telah menceritakan kepada kami Syu’bah berkata, telah menceritakan kepada kami Sulaiman Asy Syaibani dari ‘Abdullah bin Syaddad dari Maimunah ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di atas tikar kecil.” (HR Bukhari 368)

Sunnah Rasulullah yang merupakan perkara sunnah atau amal kebaikan boleh kita kerjakan semampu kita namun semua perkara larangan yang telah disampaikannya wajib kita jauhi tanpa kecuali.
Rasulullah bersabda, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).
Kita tidak boleh membuat larangan yang tidak pernah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena larangan, pengharaman dan kewajiban adalah hak Allah Azza wa Jalla semata dan Allah ta’ala tidak lupa.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas (larangan), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).
“Sungguh sebesar-besarnya kejahatan diantara kaum muslimin adalah orang yang mempermasalahkan hal yang tidak diharamkan, kemudian menjadi diharamkan karena ia mempermasalahkannya“. (HR. al-Bukhari)
Jika ulama beristinbath atau berfatwa tentang perkara kewajiban, larangan (batas) dan pengharaman maka wajib berlandaskan atau “turunan” dari apa yang Allah Azza wa Jalla telah tetapkan atau wajib berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan Hadits.
Jika ulama beristinbath atau berfatwa tentang perkara kewajiban, larangan (batas) dan pengharaman tanpa dalil dari Al Qur’an dan Hadits maka inilah yang dinamakan mengada-ada (perkara baru / bid’ah) dalam perkara syariat. Perkara syariat adalah apa yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla yakni meliputi perkara kewajiban, larangan (batas) dan pengharaman.
Oleh karenanya bagi yang menetapkan dan yang mengikuti perkara larangan (batas), pengharaman dan kewajiban yang mengada-ada (perkara baru/bid’ah) termasuk kedalam bid’ah dlolalah.
Kenapa membuat perkara baru dalam perkara kewajiban, larangan dan pengharaman dikatakan sebuah kesesatan (bid’ah dlolalah) karena mereka yang menetapkan dan yang mengikuti adalah penyembahan terhadap sesama mereka. Hal ini jelas merupakan sebuah kesesatan.
“Betul! Tetapi mereka itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada

Kita sangat menyayangkan adanya ulama yang serampangan menetapkan larangan.
Contoh larangan yang mengada-ada yakni larangan terhadap sholawat Nariyah atau Sholawat Badar.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak pernah melarang matan/redaksi sholawat yang berlainan dengan apa yang telah dicontohkannya.
Imam Syafi’i pun mempunyai matan/redaksi sholawat yang dibuatnya sendiri seperti.
“Ya Allah, limpakanlah shalawat atas Nabi kami, Muhammad, selama orang-orang yang ingat menyebut-Mu dan orang-orang yang lalai melupakan untuk menyebut-Mu ”
atau
“Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas cahaya di antara segala cahaya, rahsia di antara segala rahasia, pe-nawar duka, dan pembuka pintu kemudahan, yakni Sayyidina Muhammad, manusia pilihan, juga kepada keluarganya yang suci dan sahabatnya yang baik, sebanyak jumlah kenikmatan Allah dan karunia-Nya.”

Tulisan tentang matan/redaksi atau lafadz sholawat lainnya pada

Tentang sholawat Nariyah telah diuraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/20/2011/05/10/dengan-rasulullah-2/
Tentang sholawat Badar telah diuraikan dalam tulisan pada

Mereka yang mengada-ada dalam perkara larangan, pada hakikatnya mereka tanpa disadari telah terjerumus dalam bid’ah dlolalah. Hal ini telah kami sampaikan dalam tulisan pada

Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar