Di mana Allah

Sebagian muslim memahami hadits secara dzahir, lahiriah atau tekstual tentang Jariyah ( budak perempuan ) yang ditanya Rasulullah SAW, “Dimanakah Allah” . ( Shahih Muslim no:537).
Kita ketahui bahwa pertanyaan / dakwah disesuaikan dengan keadaan si penerima pertanyaan / dakwah maupun suasana kejadian pada saat itu. Hal ini sudah saya tuliskan pada
dan dari sumber lain, silahkan baca tulisan pada

.Kali ini saya menyampaikan perkataan Imam Al Qusyairi
Imam al Qusyairi mengatakan,
” Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerih payah, dan kreasi-kreasi yang mampu menggambari-Nya, atau menolak dengan perbuatan-Nya atau kekurangan dan aib. Karena, tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan apa pun tidak ada yang mengalahkan-Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan Kuasa“.
Ketika saya sampaikan perkataan Imam al Qusyairi kepada mereka , mereka balik bertanya ”Mengapa mengikuti perkataan Imam al Qusyairi, seorang ulama Sufi  yang wafat tahun 465H, bukan shahabat, bukan tabi’in) yang melarang bertanya “Dimana Allah?”
Inilah yang saya sedihkan, apakah ulama yang bukan sahabat atau tabi’in atau tabi’ut tabi’in jauh dari kebenaran ?
Pendapat ulama, wajib kita periksa dengan Al-Qur’an dan Hadits.
Imam Qusairy tidak melarang , namun beliau mengatakan ”Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerih payah, dan kreasi-kreasi yang mampu menggambari-Nya” , ini sangat sesuai dengan firman Allah yang artinya, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia”. (QS.al-Syura : 11).
Secara dzahir atau dengan “mata kepala”, tidak akan mendapatkan jawaban “bagaimana Dia” atau “dimana Dia”. Begitu pula tidak akan mendapatkan jawaban jika hanya dengan diskusi berkepanjangan saja.
Oleh karenanya Imam Qusairy memberitahukan jalan untuk mendapatkan jawaban dimanakah Allah, dengan jalan  kita menjadi “penyaksi” (asy syahid) dengan “mata hati” atau bashirah
“Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”.
Inipun sesuai dengan Al-qur’an bahwa untuk mengambil pelajaran akan ayat-ayat mutasyabihat adalah orang-orang berakal (ulil albab).
“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal“. (QS Ali Imran : 7)
Allah menyampaikann bahwa orang-orang berakal (ulil albab) adalah,
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Ali Imran: 191).
Dan upaya itupun bukan karena amal, perbuatan manusia namun semata-mata kehendak Allah.
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Danhanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Al-Baqarah – 269).
Jadi menjadi “penyaksi” (as syahid), ihsan (seolah-olah melihatNya), dapat mengenal Allah (ma’rifatullah), sampai (wushul) ke hadirat Allah adalah semata-mata kehendak Allah.
Begitu juga saya sedih atas sebagian muslim yang anti madzhab dengan alasan bahwa imam-imam madzhab tidak maksum atau tidak terbaik.
Padahal mereka kurang tepat mengartikan Salafush sholeh.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di zamanku, kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelahnya“. HR. Bukhari, no. 2652, Muslim, no. 6635.
Mereka dipanggil sebagai Salafush Sholeh karena mereka sholeh, baik, berakhlak baik, mereka mempersembahkan diri mereka di hadapanNya. Mereka tidak mau membela diri karena malu terhadap rububiyah-Nya dan merasa cukup dengan sifat qayyum-Nya.
Mereka yakin bahwa Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri.
Mereka adalah yang berserah diri (Islam) kepada Allah.
Sehingga mereka mencapai tingkatan muslim yang terbaik yakni Ihsan (muhsin), seolah-olah mereka melihat-Nya walaupun mereka tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat mereka.
Sekarang kita yang jauh dari masa generasi terbaik itu, mulai timbullah sikap “membela diri” yang sesungguhnya adalah memperturuti hawa nafsu. Nah, memperturuti hawa nafsu inilah yang menghijab kita dari “seolah-olah kita melihatNya”
Oleh karenanya orang-orang yang mendalami tasawuf sangat concern dengan masalah menghilangkan hijab, yakni dosa dengan taubat, akhlak, tazkiyatun nafs, dll
Salah satu cara mengingat Allah yang lebih besar keutamaannya adalah Sholat,
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan“. (QS al Ankabut : 45)
Inilah yang dikatakan “Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin”  , Sholat adalah mi’raj nya kaum mukmin.
Perihal ini sudah saya uraikan dalam tulisan pada
Sholat adalah amal / perbuatan yang merupakan kelanjutan atau perwujudan dari syahadat (kesaksian) yang telah diucapkan atau kita janjikan.
Marilah kita wujudkan atau buktikan kepada Allah, apa yang kita ucapkan dan kita janjikan (syahadat) dalam bentuk amal dan perbuatan.
Wassalam
Zon di Jonggol
Lafadz dan Makna Dzahir
Sebagaimana yang disampaikan Salaf, bahwa kami mengimani LAFADZ DZAHIR ayat-ayat Mutasyabihat  (semua dari sisi ALLAH) namun tidak MAKNA DZAHIR dan kami menyerahkan MAKNAnya kepada Allah dan Allah menganugerahkan al-hikmah (pemahaman yang dalam) kepada siapa yang dikehendakiNya, sehingga hambaNya dapat mengambil pelajaran.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad menyatakan:
“Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat mutasyabihat dan hadits mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Klo boleh disimpulkan , kita tidak akan mendapatkan jawaban jika memulai pertanyaan makna dengan awalan di ……..
Allah dalam pengertian makna tidak dapat secara dzahir, tekstual atau harfiah, Dia tidak di bumi, tidak di langit dan tidak di mana-mana
Kita tidak bisa berbicara tentang Allah secara bermakna. bagaimana kita bisa memahami tentang Dia, sedang kata-kata yang ada hanya melemparkan kita keluar dari seluruh konsepsi manusia.
Seperti,
Aku adalah dekat, Allah Maha Tinggi
Al awwalu wal akhiru (Dia yang Awal dan yang akhir),
Dia yang tampak dan yang tersembunyi (Al dhahiru wal bathinu),
cahaya-Nya tidak di timur dan tidak di barat (la syarkiya wa la gharbiya),
tidak laki-laki dan tidak tidak perempuan,
tidak serupa dengan ciptaan-Nya dst….
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali. Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, (dzohir atau “mata kepala))
tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”. (dilihat oleh hati atau bashirah, “mata hati”)
Hakikat keimanan yang dimaksud dengan i’tiqad atau akidah.
Oleh karenanya kita sebagai muslim dapat mengetahui tentang Allah dapat melalui sifatNya yang semuanya Allah berikan petunjuk dalam Al-Qur’an. Ulama-ulama ushuludin mengumpulkan atau merumuskan untuk mengajarkan kepada kita dalam
20 sifat yang wajib (mesti ada) pada Allah
20 sifat yang mustahil (tidak mungkin ada ) pada Allah dan
1 sifat yang harus (boleh ada – boleh tidak) pada Allah.
Ulama yang mengumpulkan atau merumuskan adalah Syaikh Abu Hasan ‘Ali al Asy’ari dan Syaikh Abu Mansur al Maturidi
Karena itu orang-orang memberi nama kepada kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, juga dengan nama kaum Asya’irah , jama’ dari Asy’ari.
Tersebut dalam kitab, “Ihtihaf Sadatul Muttaqin” karangan Imam Muhmammad bin Muhammad al Husni az Zabidi, yaitu kitab syarah dari kitab “Ihya Ulummuddin” karangan Imam Ghazali, pada jili II, hal 6 yang artinya,
“Apabila disebut kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, maka maksudnya ialah orang-orang yang mengikuti rumusan (paham) Asy’ari dan paham Abu Mansur al Maturidi”
Selengkapnya, silahkan baca tulisan pada
Dan dalam tasawuf didalami bahwa selain mengenal Allah dengan sifatNya, maka mengenal Allah (ma’rifatullah) dengan berupaya mencapai muslim yang Ihsan (muhsin), seolah-olah melihatNya atau bertemu Allah atau sampai (wushul) ke hadhirat Allah.
Sebagaimana yang disampaikan Sayyidina Ali r.a. bahwa “Bagaimana kita menyembah yang tidak pernah kita lihat?”
Sebagaimana firman Allah yang artinya,
“Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keragu-raguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. ingatlah bahwa sesungguhnya Dia maha meliputi segala sesuatu. (QS Fushshilat 41:54)
Untuk itulah , untuk menghilangkan keragu-raguan kita wajib beri’tiqad/akidah sesuai apa yang Allah berikan petunjukNya dalam Al-Qur’an dan penjelasan dalam Hadits. Jangan sekedar atau bahkan “buta” mengikuti metode pemahaman orang lain. Kembalilah kepada Al-Qur’an dan Hadits.
Janganlah kita menyia-nyiakan kehidupan di dunia dan dalam keraguan.
Ikutilah sunnah Rasulullah saw, “Zuhudlah di dunia” sehingga mencapai tingkatan orang arif yakni meninggalkan hal-hal yang menyibukkan seorang hamba sehingga melupakan Allah.
Orang-orang arif adalah orang yang menyibukkan dirinya dengan Allah dan hanya melakukan perbuatan jika Allah yang berkenan dan bukan karena keinginan mereka sendiri. Mari kita gunakan waktu sepenuhnya untuk berbekal bagi kehidupan akhirat dengan menyibukkan diri kepada Allah dengan selalu MENGINGAT ALLAH
.
Wassalam
Zon di Jonggol

7 Tanggapan
Allah itu Dzat Wajibul Maulana. tidak di atas dan tidak di bawah, tidak di samping dan tidak di depan tidak pula di belakang.
Allah tidak usah di bahas, karena Aqal dan fikran mustahil sampai



mutiarazuhud
Saya sependapat tidak usah di bahas, namun saya merasa perlu menyampaikan karena ada sebagian muslim memahami masalah akidah atau i’tiqad dengan pemahaman dzahir, tekstual atau harfiah atau dengan “mata kepala”. Ini bukan lagi masalah furu’iyah.



good …….uraian anda sangat bagus andai umat islam dalam berpikir tidak terikat oleh ruang dan waktu akan sempurnalah islam ini .
edy witanto ……islam dan alquran



mutiarazuhud
Maaf, sedikit koreksi mas Edy, mungkin bukan “sempurnalah Islam ini” tapi “sempurnalah umat Islam ini” karena Islam memang sempurna, kitanya saja yang belum dapat memahami Islam dengan sempurna



pencari kebenaran

Dimanakah Allah ? – Ini Jawaban Al-Imaam Maalik bin Anas rahimahullah
Abu Al-Jauzaa’ :,
Permasalahan ‘dimanakah Allah’ adalah permasalahan krusial yang di jaman dulu para imam kita dari kalangan salaf mudah menjawabnya dengan jawaban sederhana, namun menjadi susah oleh generasi setelahnya. Generasi khalaf, terutama yang berafiliasi dengan kelompok Asyaa’irah, membuat aneka jawaban yang susah untuk dimengerti, mempersulit diri sendiri. Dulu, ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada seorang budak wanita ‘dimanakah Allah’, dengan mudah dijawab : ‘Di atas langit’. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun membenarkannya.[1]

Tidak terkecuali Imam Daaril-Hijrah, Maalik bin Anas rahimahullah. Beliau pun – sebagaimana salaf beliau dari kalangan shahabat dan taabi’iin – menjawab dengan jawaban yang mudah, ringkas, dan jelas. Berikut riwayatnya :
حدثني أبي رحمه الله حدثنا سريج بن النعمان حدثنا عبدالله بن نافع قال كان مالك بن أنس يقول الايمان قول وعمل ويقول كلم الله موسى وقال مالك الله في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء
Telah menceritakan kepadaku ayahku rahimahullah : Telah menceritakan kepada kami Suraij bin An-Nu’maan : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Naafi’, ia berkata : “Maalik bin Anas pernah berkata : ‘Iman itu adalah perkataan dan perbuatan, Allah berbicara kepada Muusaa, Allah berada di langit dan ilmu-Nya ada di setiap tempat – tidak ada sesuatupun yang luput dari-Nya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah, hal. 280 no. 532; shahih].
Diriwayatkan juga oleh Abu Daawud dalam Masaail-nya hal. 263, Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah, 2/67-68 no. 695-696, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad hal. 401 no. 673, Ibnu ‘Abdil-Barr dlam At-Tamhiid 7/138, dan Ibnu Qudaamah dalam Itsbaatu Shifaatil-‘Ulluw hal. 166 no. 76.

Suraij bin An-Nu’maan bin Marwaan Al-Jauhariy, Abul-Hasan (atau Abul-Husain) Al-Baghdaadiy; seorang yang tsiqah, sedikit melakukan kekeliruan. Wafat tahun 117 H [Taqriibut-Tahdziib, hal. 366 no. 2231].
‘Abdullah bin Naafi’ bin Abi Naafi’ Ash-Shaaigh Al-Makhzuumiy, Abu Muhammad Al-Madaniy; seorang yang tsiqah, shahiihul-kitaab, namun pada hapalannya terdapat kelemahan (layyin). Wafat tahun 206 H [idem, hal. 552, no. 3683].
Namun, kalangan Asyaa’irah[2] lagi-lagi berusaha menafikkan atsar ini. Mereka melemahkannya dari faktor ‘Abdullah bin Naafi’, karena sebagian huffadh mengkritik hapalannya. Namun alasan ini tidaklah valid. Disamping pujian ulama tentang ketsiqahannya secara khusus[3], maka ia juga dikenal shaahibu Maalik dalam periwayatan dan lebih diutamakan dibanding yang lainnya.

Ibnu Sa’d rahimahullah berkata :
كان قد لزم مالك بن أنس لزوما شديدا لا يقدم عليه أحد
“Ia melazimi Maalik bin Anas dengan amat sangat, tidak ada seorang pun yang mendahuluinya”.
Ibnu ‘Adiy rahimahullah berkata :
روى عن مالك غرائب ، و هو فى رواياته مستقيم الحديث
“Ia meriwayatkan beberapa riwayat ghariib dari Maalik. Dan ia dalam riwayatnya (Maalik) mustaqiimul-hadiits”.
Ibnu Ma’iin rahimahullah berkata :
وعبد الله بن نافع ثبت فيه
“Dan ‘Abdullah bin Naafi’ tsabt dalam riwayat Maalik”.
Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :
كان عبد الله بن نافع أعلم الناس برأى مالك و حديثه ، كان يحفظ حديث مالك كله ثم دخله بآخرة شك
“’Abdullah bin Naafi’ adalah orang yang paling mengetahui tentang pendapat dan hadits Maalik. Ia menghapal semua hadits Maalik, namun timbul keraguan di akhir hayatnya”.
Abu Daawud rahimahullah berkata :
وكان عبد الله عالما بمالك ، و كان صاحب فقه
“’Abdullah adalah seorang ‘aalim tentang Maalik, seorang ahli fiqh”.
Ahmad bin Shaalih Al-Mishriy rahimahullah berkata :
كان أعلم الناس بمالك، و حديثه
“Ia adalah orang yang paling mengetahui tentang Maalik dan haditsnya”.
[lihat : Tahdziibut-Tahdziib, 6/52].

Dan khusus Al-Imaam Ahmad (yang perkataannya di atas sering dijadikan alasan untuk melemahkan atsar ini), maka beliau menyepakati apa yang dikatakan Al-Imaam Maalik bin Anas rahimahullah dengan periwayatan dari ‘Abdullah bin Naafi’ ini.
حدثنا أبو الفضل جعفر بن محمد الصندلى قال : حدثنا الفضل بن زياد قال : سمعت أبا عبد الله أحمد بن حنبل يقول : قال مالك بن أنس : الله عز وجل في السماء وعلمه في كل مكان ، لا يخلو منه مكان ، فقلت : من أخبرك عن مالك بهذا ؟ قال : سمعته من شريح بن النعمان ، عن عبد الله بن نافع
Telah menceritakan kepada kami Abul-Fadhl Ja’far bin Muhammad Ash-Shandaliy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Fadhl bin Ziyaad, ia berkata : Aku mendengar Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal berkata : Telah berkata Maalik bin Anas : “Allah ‘azza wa jalla berada di langit dan ilmu-Nya ada di setiap tempat. Tidak ada sesuatupun yang luput dari-Nya”. Lalu aku (Al-Fadhl bin Ziyaad) berkata : “Siapakah yang mengkhabarkan kepadamu dari Maalik perkataan ini ?”. Ahmad berkata : “Aku mendengarnya dari Syuraih bin An-Nu’maan, dari ‘Abdullah bin Naafi’” [Diriwayatkan oleh Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah, no. 696].

Dan kemudian ia (Ahmad) berhujjah dalam masalah ‘aqidah ini seperti dikatakan Maalik, sebagaimana terdapat dalam riwayat :
فقال يوسف بن موسى القطان شيخ أبي بكر الخلال قيل لأبي عبد الله : الله فوق السماء السابعة على عرشه بائن من خلقه وقدرته وعلمه بكل مكان قال : نعم هو على عرشه ولا يخلو شيء من علمه
Telah berkata Yuusuf bin Muusaa Al-Qaththaan, syaikh Abu Bakr Al-Khallaal : Dikatakan kepada Abu ‘Abdillah : “Apakah Allah berada di atas langit yang tujuh, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, serta kekuasaan-Nya dan ilmu-Nya ada di setiap tempat ?”. Ia (Ahmad) menjawab : “Benar, Allah ada di atas ‘Arsy-Nya, tidak ada sesuatupun yang luput dari ilmu-Nya” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal sebagaimana disebutkan oleh Adz-Dzahabiy dalam Al-‘Ulluw hal. 130; shahih].
Banyak riwayat-riwayat Al-Imam Ahmad yang menjelaskan hal yang semisal.
Al-Laalikaa’iy rahimahullah berkata :
وقال عز وجل (يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ) وقال : (أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ)وقال : (وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَيُرْسِلُ عَلَيْكُمْ حَفَظَةً) فدلت هذه الآيات أنه تعالى في السماء وعلمه بكل مكان من أرضه وسمائه . وروى ذلك من الصحابة : عن عمر ، وابن مسعود ، وابن عباس ، وأم سلمة ومن التابعين : ربيعة بن أبي عبد الرحمن ، وسليمان التيمي ، ومقاتل بن حيان وبه قال من الفقهاء : مالك بن أنس ، وسفيان الثوري ، وأحمد بن حنبل
“Dan Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya’ (QS. Faathir : 10). ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit kalau Dia hendak menjungkir-balikkan bumi beserta kamu sekalian, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang’ (QS. Al-Mulk : 16). ‘Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga’ (QS. Al-An’aam : 61). Maka ayat-ayat ini menunjukkan bahwasannya Allah ta’ala berada di atas langit dan ilmu-Nya berada di setiap tempat di bumi dan langit-Nya. Dan diriwayatkan hal itu dari kalangan shahabat : ‘Umar, Ibnu Mas’uud, Ibnu ‘Abaas, Ummu Salamah; dan dari kalangan tabi’iin : Rabii’ah bin Abi ‘Abdirrahmaan, Sulaimaan At-Taimiy, Muqaatil-bin Hayyaan; dan dengannya dikatakan oleh para fuqahaa’ : Maalik bin Anas, Sufyaan Ats-Tsauriy, dan Ahmad bin Hanbal” [Syarh Ushuulil-I’tiqaad, hal. 387-388].

Al-Qaadliy ‘Iyaadl Al-Maalikiy rahimahullah berkata :
قال غير واحد سمعت مالكا يقول : الله في السماء وعلمه في كل مكان
“Lebih dari satu orang yang berkata : Aku mendengar Maalik berkata : ‘Allah berada di atas langit dan ilmu-Nya berada di setiap tempat” [Tartiibul-Madaarik, 2/43 – melalui perantaraan Masaailul-‘Aqiidah Allatii Qararahaa Aimmatul-Maalikiyyah oleh Abu ‘Abdillah Al-Hammaadiy, hal. 183, taqdim : Masyhur Hasan Salmaan; Ad-Daarul-Atsariyyah, Cet. 1/1429 H].
Abul-Mutharrif ‘Abdurrahmaan bin Haaruun Al-Qanaaza’iy Al-Maalikiy rahimahullah berkata :
وفي هذا الحديث – يعني حديث الأمة السوداء – بيان أن الله تبارك وتعالى في السماء، فوق عرشه، وهو في كل مكان بعلمه،….
“Dan dalam hadits ini – yaitu hadits budak wanita hitam – terdapat penjelasan bahwasannya Allah tabaaraka wa ta’ala berada di atas langit, di atas ‘Arsy-Nya. Dan Dia berada di setiap tempat dengan ilmu-Nya…” [Syarh Al-Muwaththa’, hal. 269 – melalui perantaraan Masaailul-‘Aqiidah Allatii Qararahaa Aimmatul-Maalikiyyah, hal. 184].
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah menjelaskan ijma’ perkataan Al-Imaam Maalik di atas dengan perkataannya :
علماء الصحابة والتابعين الذين حمل عنهم التأويل قالوا في تأويل قوله عز وجل (مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلاثَةٍ إِلا هُوَ رَابِعُهُمْ) هو على العرش، وعلمه في كل مكان، وما خالفهم في ذلك أحد يحتج بقوله
“‘Ulama dari kalangan shahabat dan taabi’iin yang diambil ta’wil mereka berkata tentang ta’wil firman-Nya ‘azza wa jalla : ‘Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya’ (QS. Al-Mujaadilah : 7) : ‘Allah berada di atas ‘Arsy, dan ilmu-Nya berada di setiap tempat’. Tidak ada seorangpun yang dijadikan hujjah perkataannya yang menyelisihi mereka” [Itsbaatu Shifaatil-‘Ulluw oleh Ibnu Qudaamah, hal. 166 no. 77].
Perlu dicatat, Ibnu ‘Abdil-Bar rahimahullah adalah fuqahaa’ dan ahli-hadits madzhab Maalikiyyah yang tentunya lebih mengetahui madzhab Al-Imaam Maalik dibandingkan lainnya.

Dan saya tutup dengan perkataan Adz-Dzahabiy rahimahullah :
وعن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال : ((ما بين السماء القصوى والكرسي خمسمائة عام، وبين الكرسي والماء كذلك، والعرش فوق الماء، والله فوق العرش، ولا يخفى عليه شيء من أعمالكم)). رواه اللالكائي والبيهقي، بإسناد صحيح عنه
“Dan dari ‘Abdullah bin Mas’uud radliyllaahu ‘anhu, ia berkata : ‘Jarak antara langit yang paling tinggi dengan kursi adalah limaratus tahun. Begitu juga jarak antara kursi dengan air. Dan ‘Arsy berada di atas air. Dan Allah berada di atas ‘Arsy, tidak ada sesuatupun tersembunyi atas-Nya dari amal-amal kalian’. Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dan Al-Baihaqiy dengan sanad shahih darinya” [Al-‘Arsy, 2/129, tahqiq : Prof. Muhammad bin Khaliifah At-Tamiimiy; Adlwaaus-Salaf, Cet. 1/1420 H].

Kesimpulannya : Shahih perkataan Al-Imaam Maalik bin Anas rahimahullah bahwasannya Allah ta’ala berada di atas langit, dan ilmu-Nyalah yang berada di setiap tempat. Inilah madzhab salaf, bukan madzhab Asyaa’irah.
Wallaahu a’lam.
NB : Kira-kira, orang-orang Asyaa’irah jika ditanya : ‘dimanakah Allah ?’ dapat langsung bergegas menjawab : ‘di atas langit’ gak ya ?.



mutiarazuhud
Para Salafush Sholeh maupun para Imam Mazhab yang empat, mereka tidak mengucapkannya kecuali ‘ala sabilil hikayah atau menetapkan lafazhnya (itsbatul lafzhi) saja; yaitu hanya mengucapkan kembali apa yang diucapkan oleh al Qur’an, “Ar-Rahmanu alal arsy istawa” atau “A’amintum man fis sama’“. Tidak lebih dari itu.
Namun mereka para pengikut Ibnu Taimiyyah sebagaimana Ibnu Taimiyyah memaknainya dengan menterjemahkan secara harfiah bahwa Allah ta’ala bertempat di atas Arsy atau bertempat di (atas) langit.
Allah Azza wa Jalla ada sebagaimana sebelum diciptakan Arsy, sebagaimana sebelum diciptakan langit, sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya. Sebagaimana awalnya dan sebagaimana akhirnya. Tidak berubah dan tidak pula berpindah. Yang berubah dan berpindah adalah ciptaanNya.
Imam Sayfi’i ra mengatakan
إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان ولا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته (إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين, ج 2، ص 24)
“Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptakan tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya yang Azali sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya” (LIhat az-Zabidi, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn…, j. 2, h. 24).
Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Haitami pernah ditanya tentang akidah mereka yang semula para pengikut Mazhab Hambali, apakah akidah Imam Ahmad bin Hambal seperti akidah mereka ?
Beliau menjawab:
فأجاب بقوله : عقيدة إمام السنة أحمد بن حنل رضي الله عنه وأرضاه وجعل جنان المعارف متقلبه ومأواه وأقاض علينا وعليه من سوابغ امتنانه وبوأه الفردوس الأعلى من جنانه موافقة لعقيدة أهل السنة والجماعة من المبالغة التامة في تنزيه الله تعالى عما يقول الظالمون والجاحدون علوا كبيرا من الجهة والجسمية وغيرهما من سائر سمات النقص ، بل وعن كل وصف ليس فيه كمال مطلق ، وما اشتهر به جهلة المنسوبين إلى هذا الإمام الأعظم المجتهد من أنه قائل بشيء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه ، فلعن الله من نسب ذلك إليه أو رماه بشيء من هذه المثالب التي برأه الله منها
Akidah imam ahli sunnah, Imam Ahmad bin Hambal –semoga Allah meridhoinya dan menjadikannya meridhoi-Nya serta menjadikan taman surga sebagai tempat tinggalnya, adalah sesuai dengan akidah Ahlussunnah wal Jamaah dalam hal menyucikan Allah dari segala macam ucapan yang diucapkan oleh orang-orang zhalim dan menentang itu, baik itu berupa penetapan tempat (bagi Allah), mengatakan bahwa Allah itu jism (materi) dan sifat-sifat buruk lainnya, bahkan dari segala macam sifat yang menunjukkan ketidaksempurnaan Allah.
Adapun ungkapan-ungkapan yang terdengar dari orang-orang jahil yang mengaku-ngaku sebagai pengikut imam mujtahid agung ini, yaitu bahwa beliau pernah mengatakan bahwa Allah itu bertempat dan semisalnya, maka perkataan itu adalah kedustaan yang nyata dan tuduhan keji terhadap beliau. Semoga Allah melaknat orang yang melekatkan perkataan itu kepada beliau atau yang menuduh beliau



hik hik hik hik ………
=====
4 Juli 2010 oleh mutiarazuhud

Tidak ada komentar:

Posting Komentar