Istighotsah dan Sang penetap

Istighotsah dan memohon kepada yang menetapkan sebab

Sumber:
Mafahim Yajibu an Tushahhhah (Pemahaman-Pemahaman yang Harus Diluruskan), Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasan, dzurriyat Rasulullah dari fam Al-Hasani berasal dari putra Sayyidina Hasan ra yang bernama Hasan Al-Mutsana.
Link:  http://www.pejuangislam.com/main.php?prm=karya&var=detail&id=44
Memohon pertolongan dan permintaan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
Di muka telah kami sebutkan bahwa kami meyakini dengan sepenuhnya bahwa pada dasarnya dalam memohon pertolongan, meminta, memanggil dan memohon hanya pada Allah Azza wa Jalla semata. Dialah Dzat yang memberikan pertolongan, bantuan dan yang mengabulkan.
Allah berfirman:  وقال ربكم ادعوني أستجب لكم  “Dan Tuhanmu berfirman:  “Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu“.( Q.S. Al.Mu`min [40]: 60 )
Siapapun yang memohon pertolongan kepada makhluk, memohon bantuan kepadanya, memanggilnya atau memohon dan meminta kepadanya baik makhluk itu masih hidup atau sudah mati dengan meyakini bahwa makhluk itu sendiri secara independen bisa memberi manfaat dan bahaya tanpa izin Allah Azza wa Jalla berarti ia telah musyrik.
Namun Allah Azza wa Jalla memperbolehkan makhluk untuk saling memohon pertolongan dan bantuan. Allah Azza wa Jalla  juga menyuruh orang yang diminta pertolongan untuk memberikan pertolongan, orang yang diminta bantuan untuk memberikan bantuan dan orang yang dipanggil untuk mengabulkan.
Hadits-hadits yang menjelaskan masalah ini sangat banyak, yang seluruhnya menunjukkan membantu orang yang menderita, menolong orang yang membutuhkan, dan menghilangkan kesusahan. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah figur paling agung yang menjadi media untuk memohon pertolongan kepada Allah dalam menghilangkan kesusahan dan memenuhi kebutuhan.
Penderitaan apakah yang melebihi penderitaan di hari kiamat, saat berada di mahsyar dalam waktu lama, berdesak-desakan, suhu sangat panas dan keringat menyelimuti orang yang dikehendaki Allah. Dalam situasi yang sangat berat semua manusia memohon pertolongan kepada Allah lewat makhluk terbaik-Nya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam :وبينما هم كذلك استغاثوا بآدم“  Ketika mereka dalam situasi sangat menderita di hari kiamat, mereka memohon bentuan kepada Adam..dst.”  Dalam hadits ini beliau menggunakan kata istighotsah ( memohon bantuan ).
Dalam shahih Al Bukhari juga menggunakan kata yang sama.  Para sahabat memohon pertolongan dan bantuan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, memohon syafaat kepada beliau dan mengadukan kondisi mereka dari kefakiran, penyakit, musibah, hutang dan kegagalan kepada beliau. Mereka juga mendatangi beliau ketika ditimpa kesengsaraan dan memohon kepada beliau dengan tetap meyakini bahwa beliau cuma mediator dan penyebab dalam memberi manfaat dan bahaya sedang pelaku sejati adalah Allah Subhanahu wa ta’ala.

Abu Hurairah ra mengadukan lupa
Al Bukhari dan perawi lain meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ia mengadu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam karena lupa terhadap hadits yang ia dengar dari beliau, sedang ia ingin penyakit lupa itu hilang.
“Wahai Rasulullah, saya mendengar banyak hadits darimu namun saya lupa. Saya ingin lupa ini hilang,” Abu Hurairah mengadu.
“Bentangkan selendangmu,” perintah beliau.
Lalu Abu Hurairah membentangkan selendangnya dan beliau mengambil udara dengan tanggannya dan meletakkannya pada selendang tersebut kemudian bersabda :  ابسط ردائك , فبسطه فقذف بيده الشريفة من الهواء فى الرداء ثم قال: ضمه فضمه , قال أبو هريرة : فما نسيت شيئا بعد. ( رواه البخاري في كتاب العلم باب حفظ العلم ) “Lipatlah selendangmu!” Lalu Abu Hurairah melipat selendangnya. “Sesudah peristiwa itu saya tidak pernah mengalami lupa,” ucap Abu Hurairah. (HR Al Bukhari dalam Kitabu Al ‘Ilmi Babu Hifdhi Al ‘Ilm hadits : 119.)
Abu Hurairah meminta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tidak melupakan apapun padahal permintaan ini termasuk sesuatu yang hanya mampu dikerjakan oleh Allah. Dan beliau tidak ingkar kepada Abu Hurairah serta tidak menuduhnya telah melakukan tindakan syirik, karena setiap orang mengetahui bahwa orang yang mengesakan Allah jika memohon kepada figur-figur yang memiliki kedudukan di sisi-Nya maka ia tidak menghendaki mereka menciptakan sesuatu dan tidak meyakini mereka mampu melakukannya. Ia hanya menginginkan mereka menjadi sebab baginya dengan sesuatu yang Allah memberikan kemampuan kepada mereka dari do’a dan tindakan yang dikehendaki Allah.
Coba Anda lihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengabulkan permintaan Abu Hurairah. Dalam kisah di atas, tidak ada keterangan beliau mendo’akan Abu Hurairah. Beliau hanya mengambil udara dan menjatuhkannya pada selendang Abu Hurairah. Beliau menyuruh Abu Hurairah untuk menempelkan selendang ke dadanya. Dan berkat karunia Allah, Dia menjadikan apa yang dilakukan beliau sebagai sebab terkabulkannya keinginan Abu Hurairah.
Demikian pula beliau tidak pernah mengatakan kepada Abu Hurairah : Mengapa engkau meminta kepadaku padahal Allah lebih dekat kepadamu daripada aku? Karena hal yang sudah dimaklumi oleh siapapun bahwa yang dijadikan sandaran dalam pemenuhan kebutuhan dari Dzat yang di tangan-Nya kunci-kunci semua urusan hanyalah faktor kedekatan pemohon dengan Allah dan kesempurnaan kedudukannya di sisi Allah.

Qotadah ra meminta pertolongan kepada Nabi untuk menyembuhkan matanya
Adalah fakta bahwa Qotadah ibnu an Nu’man mengalami kecelakakaan pada matanya hingga kornea matanya keluar ke pipinya. Para sahabat hendak memutus kornea mata tersebut, namun Qotadah menolak.
“Tidak, sampai saya minta ijin kepada Rasulullah,” ucap Qotadah.
Lalu Qotadah meminta ijin kepada beliau. “Jangan ! “kata beliau. Kemudian beliau meletakkan telapak tangan beliau pada kornea mata Qotadah, lalu menekan masuk hingga normal kembali seperti kondisi sebelumnya. Mata yang sakit itu menjadi yang paling sehat dari kedua mata Qotadah. Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baghawi, Abu Ya’la, Ad Daruqutni, Ibnu Syahin dan Al Bsihaqi dalam kitab Ad Dalail. Juga dikutip oleh Al Hafidzh Ibnu Hajar dalam Al Ishobah (vol. 3 hal. 225), Al Hafidh Al Haitsami dalam Majma’uz Zawaid (vol. 4 hal. 297) dan Al Hafidh As Suyuthi dalam Akhashaish Al Kubra.
Sahabat Lain memohon pertolongan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menghilangkan bisul Dari Muhammad ibn ‘Uqbah ibn Syurahbil dari kakeknya, ‘Abdurrahman , dari ayahnya, ia berkata, “Saya mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan pada telapak tanganku tumbuh bisul. “Wahai Nabi Allah”,  kataku, “bisul ini telah membuatku sakit. Ia menjadi penghalang antara diriku dan gagang pedang untuk memegangnya dan dari tali kekang kendaraan”. “Kemarilah”, kata beliau. “Saya pun mendekati beliau, “ kata sang ayah, “lalu beliau membuka telapak tanganku dan telapak tanganku pun ditiupnya. Kemudian beliau meletakkan tangannya di atas bisul seraya memutar-mutarnya sehingga bisul itu hilang tak berbekas.” HR. Al Thabarani dan disebutkan oleh Al Hafidh Al Haitsami dalam Majma’ul Zawaaid vol. VIII. Al Sil’ah adalah bisul yang tumbuh di bawah kulit.

Mua’adz ra memohon kepada Nabi agar menormalkan tangannya
Di tengah berkecamuknya perang Badar, ‘Ikrimah ibn Abi Jahal memukul pundak Mu’adz ibn ‘Amr ibn Al Jamuh. “’Ikrimah memukul tanganku hingga menjuntai melekat pada kulit lambung dan peperangan membuatku jauh darinya. Sungguh saya telah berperang sepanjang hari dan saya menyeret tangan saya di belakang. Saat tangan ini membuatku sakit saya letakkan telapak kaki di atasnya dan berjalan di atasnya hingga saya membuangnya. Dalam ( kitab ) Al Mawaahib disebutkan, “Mu’adz ibn ‘Amr membawa tangannya – yang dipukul oleh ‘Ikrimah – menghadap Rasulullah, sebagaimana disebutkan oleh Al Qadli ‘Iyadl dari ibn Wahb. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam meludahi tangan Mu’adz hingga akhirnya melekat kembali. Kisah ini disebutkan oleh Al Zurqani dan ia mengisnadkannya pada Ibnu Ishaq. Dari jalur periwayatannya ada Al Hakim.
Memohon pertolongan dan bantuan kepada Allah ta’ala lewat Nabi Shallallahu alaihi wasallam dalam mengatasi musibahNash-nash valid yang mutawatir menyatakan bahwa para Sahabat jika mengalami paceklik dan hujan tidak lagi turun mereka datang kepada Rasulullah seraya memohon syafaat, bertawassul, meminta dan memohon bantuan lewat beliau kepada Allah. Mereka menjelaskan kondisi yang dialami dan mengadukan musibah serta penderitaan yang menimpa mereka.
Seorang A’rabi memanggil Rasulullah saat beliau berkhutbah pada hari Jum’at :   يارسول الله ! هلكت الأموال وانقطعت السبل فادع الله أن يغيثنا فدعا الله وجاء المطر إلى الجمعة الثانية , فجاء وقال : يارسول الله ! تهدمت البيوت وتقطعت السبل وهلكت المواشي…يعنى من كثرة المطر فدعا صلى الله عليه وسلم فانجاب السحاب وصار المطر حول المدينة.  “Wahai Rasulullah, harta benda rusak parah dan jalan-jalan terputus. Berdo’alah engkau kepada Allah agar Dia menurunkan hujan.” Beliau kemudian berdo’a dan turunlah hujan pada hari kedua. Berikutnya A’robi tadi datang lagi kepada beliau. “Wahai Rasulullah, rumah-rumah roboh, jalan-jalan terputus, dan binatang-binatang ternak mati…” yakni karena derasnya hujan. Akhirnya beliau berdo’a dan mendung pun hilang. Hujan terjadi di sekitar Madinah.” HR Al Bukhari dalam Kitaabul Istisqaa’ Babu Suaalinnaas Al Imaam Al Istisqaa’ Idzaa Qahithu.

Abu Dawud meriwayatkan hadits dengan sanad baik dari ‘Aisyah, ia berkata, “Orang-orang mengadu kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam atas hujan yang tidak juga turun.” HR Abu Dawud fi kitaabishsholat Abwaabalistisqaa’.
Al Baihaqi meriwayatkan dari Anas dalam Dalailunnubuwwah dengan rangkaian perawi yang tidak figur yang layak dicurigai. Lihat Fathul Baari vol. II hlm. 495.Dari Anas ibn Malik bahwa seorang a’rabi datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “katanya, “Tidak ada hewan ternak kami yang bisa bersuara dan tidak ada bayi kami yang bisa tidur lelap.” Lalu ia mengucapkan :أتيناك والعذراء يدمى لبانها وقد شغلت أم الصبي عن الطفلوألقى بكفيه الفتى استكانة من الجوع ضعفا ما يمر ولا يحلىولا شيء مما يأكل الناس عندنا سوى الحنظل العامي والعلهز الغسلو ليس لنا إلا إليك فرارنا و أين فرار الناس إلا إلى الرسل Kami datang kepadamu saat gadis teteknya berdarah Ibu bayi melupakan bayinya Pemuda menjatuhkan kedua telapak tangannya pasrah Akibat lapar ia lemah, tidak mengganggu dan tidak berguna Tidak ada makanan yang kami miliki Hanya ada sejenis labu dan makanan waktu kelaparan yang tidak dicuci Hanya padamu aku berlari datang Dimanakah larinya manusia jika tidak kepada para Rasul
Nabi langsung bangkit menyeret selendangnya lalu naik ke atas mimbar dan mengangkat tangannya berdo’a :    اللهم اسقنا غيثا مغيثا مريئا مريعا غدقا طبقا نافعا غير ضار عاجلا غير رائث تملأ به الضرع , وتنبت به الزرع , وتحيى به الأرض بعد موتها , قال : فما رد رسول الله يديه حتى ألقت السماء بأردافها , وجاء الناس يضجون الغرق , فقال صلى الله عليه وسلم : حوالينا ولا علينا. فانجاب السحاب عن المدينة. “Ya Allah turunkan buat kami hujan deras yang menimbulkan kebaikan, membuat subur, banyak, merata, bermanfaat tidak membawa petaka, segera tidak lamban, yang membuat penuh ambing, menumbuhkan tanaman, dan menghidupkan bumi setelah ia mati.”
Anas berkata, “Rasulullah tidak mengembalikan tangannya hingga mendung menjatuhkan muatannya dan orang-orang datang meneriakkan suara tenggelam.” “Turunkan hujan di sekitar kami jangan menimpa kami,” lanjut Rasulullah. Mendung pun hilang dari Madinah.
Renungkanlah bagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menyandarkan memohon bantuan, memberi manfaat dan sebagainya pada hujan secara majaz ?

Dan bagaimana beliau menetapkan kalimat penyair:
Hanya padamu aku berlari datang Dimanakah larinya manusia jika tidak kepada para Rasul
Dan tidak menilainya telah musyrik. Alasannya adalah karena pembatasan dalam bait itu bersifat relatif. Apakah samar bagi beliau firman Allah :ففروا إلى الله” Maka segeralah kembali kepada (menta`ati ) Allah”. ( Q.S.Adz.Dzaariyaat : 50 )
Padahal ayat ini telah diturunkan kepada beliau. Maksud dari lari yang ada dalam bait-bait syair di atas adalah bahwa lari yang diharapkan memberi manfaat adalah kepadamu bukan kepada yang lain dan lari kepada para Rasul bukan kepada yang lain. Karena para Rasul adalah figur tertinggi orang yang dijadikan media tawassul kepada Allah dan figur paling agung yang lewat tangan mereka Allah mengabulkan keinginan orang-orang yang datang memohon bantuan kepada mereka.
Perhatikanlah dengan serius betapa beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam sangat terpengaruh oleh apa yang diucapkan penyair a’rabi itu dan begitu cepatnya respons beliau untuk menolong dan membantu manusia di mana beliau bangkit menuju mimbar seraya menyeret selendangnya. Beliau tidak menunggu untuk membereskan selendang terlebih dahulu karena bersegera untuk mengabulkan permohonan orang yang memohon kepadanya dan membantu orang yang memanggilnya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah pilar, pelindung dan tempat kami mengadu
Hassan ibn Tsabit memanggil-manggil beliau dan menyifatinya dengan pilar yang menjadi sandaran serta pelindung yang menjadi tempat mengadu. Ia berkata :يا ركن معتمد وعصمة لائذ وملاذ منتجع وجار مجاوريا من تخيره الإله لخلقه فحباه بالخلق الزكي الطاهرأنت النبي و خير عصبة آدم يا من يجود كفيض بحر زاخرميكال معك وجبرئيل كلاهما مدد لنصرك من عزيز قادر

Wahai pilar orang yang bersandar dan perlindungan orang yang mengadu
Tempat datang orang yang butuh bantuan dan tetangga orang dekat
Wahai, orang yang dipilih Tuhan untuk makhluk-Nya
Dia telah memberimu perangai bersih dan suci
Engkau adalah Nabi dan sebaik-baik anak Adam
Wahai orang dermawan bak samudera luas
Mikail dan Jibril bersamamu membantu
Keduanya dari Yang Maha Perkasa dan Kuasa untuk menolongmu
(Lihat Al Ishabah vol. I hlm. 264 dan Al Raudl Al Anf vol. II hlm 91)

Hamzah pelaku keibaikan dan penghilang kesusahan
Versi Ibnu Syadzaan dari hadits Ibnu Mas’ud : Saya tidak pernah sama sekali melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menangis hebat melebihi tangisan beliau terhadap Hamzah ibn Abdil Muththallib. Beliau meletakkan jenazahnya menghadap qiblat lalu berdiri di hadapannya. Napas beliau tersengal-sengal sampai terisak karena menangis. “Wahai Hamzah, wahai paman Rasulullah, singa Allah dan rasul-Nya. Wahai Hamzah pelaku kebaikan, wahai Hamzah penghilang kesusahan. Wahai sang pembela atas diri rasulillah!” ucap beliau. Dikutip dari Al Mawaahiub Al Laadunniyyah vol. I hlm. 212.

Tidak ada perbedaan antara hidup dan mati
Apabila seseorang berkata bahwa memohon bantuan kepada Nabi, mengadukan keadaan, memohon syafaat dan pertolongan kepada beliau dan segala sesuatu yang sejenisnya hanya bisa dilakukan di saat beliau masih hidup. Adapun jika dilakukan sesudah beliau meninggal merupakan tindakan kufur. Kadang dengan toleran ia mengatakan tidak disyari’atkan atau tidak boleh.
Saya jawab bahwa memohon bantuan dan tawassul apabila faktor yang melegalkannya adalah hidup sebagaimana pandangan mereka maka para Nabi dalam kondisi hidup dalam kubur mereka. Para hamba Allah yang diridloi juga hidup dalam kubur mereka seperti halnya Nabi. Seandainya seorang pakar fiqh tidak menemukan dalil atas keabsahan tawassul dan memohon bantuan kepada beliau sesudah wafat kecuali dianalogikan dengan tawassul dan memohon bantuan kepada beliau sewaktu masih hidup niscaya hal ini cukup. Karena beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam hidup di dunia dan akhirat, senantiasa memberikan perhatian kepada ummatnya, mengatur urusan-urusan ummatnya atas seizin Allah, mengetahui kondisi ummatnya, disampaikan kepadanya shalawat dari ummatnya yang menyampaikan shalawat dan sampai kepada beliau salam mereka meskipun jumlah mereka banyak.
Orang yang pengetahuannya luas mengenai arwah dan keistimewaan yang dimilikinya, apalagi arwah orang-orang yang luhur maka hatinya lapang untuk mengimani kehidupan arwah di alam barzakh. Lalu bagaimana dengan ruh dari segala arwah dan cahaya dari segala cahaya, yakni Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Seandainya memohon syafaat, meminta bantuan atau tawassul dengan beliau dikategorikan syirik dan kufur sebagaimana anggapan mereka maka hal itu tidak akan dibolehkan dalam kondisi apapun baik dalam kehidupan dunia, akhirat, pada hari kiamat atau sebelumnya. Karena tindakan syirik dimurkai Allah dalam situasi apapun.

Klaim sesat bahwa orang mati tidak mampu melakukan apapun
Adapun klaim bahwa orang mati tidak mampu melakukan apapun maka ini adalah klaim yang salah. Karena jika pandangan ini dikarenakan golongan wahabi meyakini bahwa orang mati telah menjadi tanah, berarti pandangan ini adalah substansi kebodohan terhadap hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan firman Allah yang menetapkan adanya kehidupan arwah dan kekekalannya setelah berpisah dari jasad, dan panggilan Nabi terhadap arwah pada perang Badr. “Wahai ‘Amr ibn Hisyam ! wahai ‘Utbah ibn Rabi’ah, wahai fulan ibn fulan ! Sungguh kami menemukan janji Tuhan kami benar adanya. Apakah kalian menemukan janji Tuhan kalian benar adanya ?” tanya Nabi. Seseorang bertanya, “Mengapa engkau memanggil-manggil orang-orang mati ?”. “Kalian tidak lebih mendengar terhadap ucapanku daripada mereka,” jawab Nabi.
Salah satu fakta adanya kehidupan arwah adalah :- Tindakan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam memberi salam dan panggilan beliau kepada penghuni kuburan. “Assalamu’alaikum, wahai penghuni kubur,” sapa beliau. - Siksa dan kenikmatan kubur, datang dan perginya arwah dan lain sebagainya dari banyak dalil yang datang dibawa Islam dan ditetapkan oleh filsafat klasik dan modern.

Di sini kami kami hanya akan menanyakan persoalan berikut
Apakah golongan Wahabi meyakini bahwa orang-orang yang mati syahid hidup di sisi Tuhan mereka sebagaimana dinyatakan Al Qur’an, atau tidak ?

Jika jawaban mereka tidak, maka tidak ada lagi diskusi antara kami dan mereka sebab mereka telah mendustakan Al Qur’an, di mana kitab suci ini mengatakan :
ولاتقولوا لمن يقتل في سبيل الله أموات بل أحياء ولكن لاتشعرون “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, ( bahwa mereka itu ) mati; bahkan ( sebenarnya ) mereka itu hidup, tetapi kamu Tidak menyadarinya“. ( Q.S.Al.Baqarah : 154 )
ولاتحسبن الذين قتلوا في سبيل الله أمواتا بل أحياء عند ربهم يرزقون “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Alah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” ( Q.S.Ali Imran : 169 )
Jika mereka meyakini kehidupan orang-orang yang mati syahid maka kami katakan kepada mereka bahwa para Nabi dan orang-orang muslim yang shalih yang tidak berstatus syuhada’ seperti sahabat-sahabat senior itu tidak diragukan lagi lebih utama dari para syuhada’. Jika fakta menunjukkan syuhada’ itu hidup maka adanya kehidupan bagi orang-orang yang lebih utama daripada mereka lebih layak, di samping bahwa kehidupan para Nabi di alam kubur telah ditegaskan dalam hadits-hadits shahih. Jika kami katakan bahwa ketika kehidupan arwah telah dibuktikan berdasarkan dalil-dalil qath’i maka tidak ada ruang bagi kita setelah terbuktinya kehidupan arwah tersebut kecuali menetapkan spesikasi-spesikasinya. Karena adanya hal yang dilazimkan ( malzum ) menetapkan adanya yang melazimkan ( lazim ) sebagaimana meniadakan hal yang melazimkan menetapkan tidak adanya hal yang dilazimkan, sebagaimana telah diketahui.
Secara logika, faktor apa yang menghalangi memohon pertolongan dan bantuan kepada Allah lewat arwah para Nabi sebagaimana seseorang meminta bantuan dengan malaikat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya atau sebagaimana seseorang memohon pertolongan kepada yang lain. (Engkau disebut manusia sebab ruh bukan jasad fisik).

Aktivitas arwah sama dengan aktivitas malaikat, tidak membutuhkan sentuhan dan alat. Tidak seperti ketentuan-ketentuan dalam aktivitas kita yang telah diketahui. Karena aktivitas arwah terjadi pada alam lain.
ويسألونك عن الروح قل الروح من أمر ربي وما أوتيتم من العلم إلا قليلا
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah : “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku,Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” ( Q.S.Al.Israa` : 85 )

Apa yang mereka fahami tentang aktivitas malaikat atau jin di alam ini ?
Tidak ragu lagi bahwa arwah, dengan keterlepasan dan kebebasannya membuatnya mampu menjawab orang yang memanggilnya dan menolong orang yang meminta bantuan kepadanya persis seperti orang hidup. Kemampuan arwah justru melebihi orang hidup.
Jika golongan Wahabi tidak mengetahui kecuali hal-hal yang terindera dan tidak mengakui kecuali hal-hal yang kasat mata maka ini adalah karakter para naturalis bukan kaum mukminin.
Bagaimanapun kami mengalah mengikuti dan setuju pandangan mereka bahwa arwah setelah terlepas dari raga tidak mampu melakukan apapun, namun kami katakan kepada mereka jika diandaikan demikian dan kami setuju dalam rangka diskusi maka kami tegaskan bahwa bantuan yang diberikan para Nabi dan wali kepada orang-orang yang memohon bantuan bukan dikategorikan aktivitas arwah di alam ini. Tetapi bantuan mereka terhadap orang-orang yang berziarah atau memohon bantuan lewat mereka dengan mendoakan sebagaimana orang shalih mendoakan orang lain. Maka yang terjadi adalah do’a dari orang yang unggul untuk orang yang diungguli atau minimal doa seorang saudara kepada saudaranya. Dan sungguh engkau mengetahui bahwa para Nabi dan wali itu hidup, memiliki kesadaran, kepekaan dan pengetahuan. Malah kesadaran mereka lebih sempurna dan pengetahuan mereka lebih luas setelah terlepas dari raga karena lenyapnya penghalang tanah dan perselisihan-perselisihan ambisi manusiawi.
Dalam sebuah hadits terdapat keterangan bahwa amal perbuatan kita disampaikan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika beliau menemukan kebaikan beliau akan memuji Allah dan sebaliknya jika menemukan keburukan beliau akan memohonkan ampunan buat kita.
oleh kita katakan bahwa yang dimintakan dan dimohon bantuannya adalah Allah namun si pemohon memohon kepada Allah dengan menggunakan perantara Nabi agar keinginannya dikabulkan Allah. Berarti pelaku yang memberikan bantuan adalah Allah, namun pemohon ingin memohon kepada Allah lewat sebagian orang-orang yang dekat dan mulia di sisi-Nya. Seolah-olah pemohon mengatakan, “Saya salah satu pecinta atau pengikut orang yang dekat dan mulia di sisi-Mu maka rahmatilah aku berkat dirinya.” Dan Allah bakal memberi rahmat kepada banyak orang berkat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan figur lain dari para Nabi, wali dan ulama.
Walhasil, kemuliaan yang diberikan Allah kepada para pecinta Nabi karena Nabi, juga kemuliaan yang diberikan-Nya kepada sebagian hamba karena sebagian hamba yang lain adalah hal yang telah diketahui. Sebagian dari hal di atas adalah mereka yang mensalati mayit dan memohon kepada Allah agar Dia memuliakan mayit dan mengampuninya karena mereka dengan mengatakan : Dan kami telah datang kepada-Mu sebagai pemberi syafaat maka terimalah syafaat kami.

Apakah memohon sesuatu yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah ta’ala adalah tindakan syirik
Salah satu klaim sesat yang menjadi pegangan golongan yang memvonis kafir terhadap orang yang bertawassul dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam atau memohon kepada beliau adalah ucapan mereka bahwa manusia memohon kepada para Nabi dan orang-orang shalih yang telah mati, sesuatu yang tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah. Permohonan ini dikategorikan kufur.
Jawaban dari klaim ini adalah bahwa pandangan tersebut adalah sebuah kesalahpahaman terhadap ketetapan ulama di zaman dulu dan kini. Karena manusia hanya memohon kepada para Nabi dan orang-orang shalih untuk menjadi faktor penyebab di sisi Allah ta’ala dalam memenuhi apa yang mereka mohon dari Allah Azza wa Jalla. Dengan cara Allah Azza wa Jalla menciptakan kebutuhannya sebab syafaat, doa dan tawajjuh para Nabi dan orang-orang shalih sebagaimana yang terjadi pada seorang buta dan yang lain dari mereka yang kepada Nabi dalam rangka memohon dan bertawassul dengan beliau kepada Allah. Nabi mengabulkan permohonan mereka, menenteramkan hati mereka dan mewujudkan keinginan mereka atas izin Allah dan beliau tidak pernah berkata kepada salah seorang dari mereka : “kamu telah musyrik.”
Demikian juga semua hal yang berada di luar kebiasaan yang dimintakan kepada beliau seperti menyembuhkan penyakit kronis tanpa obat, menurunkan hujan dari langit saat dibutuhkan padahal tidak ada mendung, merubah substansi benda, mengucurnya air dari jari-jari, memperbanyak makanan dan sebagainya. Semua permintaan ini umumnya berada di luar kemampuan manusia dan Nabi tetap mengabulkan permintaan ini serta tidak mengatakan kepada mereka : “Kalian telah menyekutukan Allah maka perbaharuilah Islam kalian karena kalian meminta sesuatu dariku yang tidak mampu melakukannya kecuali Allah.”
Apakah mereka kelompok Wahabi merasa lebih tahu tentang tauhid dan faktor-faktor yang menyebabkan keluar dari tauhid daripada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat beliau?

Ini adalah sesuatu yang tidak dibayangkan oleh orang bodoh, apalagi orang pintar. Al Qur’an yang agung menceritakan sabda Nabi Sulaiman Alaihi salaam kepada jin dan manusia yang menjadi anggota majlis beliau:
يا أيها الملؤا أيكم يأتيني بعرشها قبل أن يأتوني مسلمين
“Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri”.  (Q.S.An.Naml : 38)
Beliau Alaihi salaam meminta kepada mereka untuk mendatangkan singgasana besar dari Yaman menuju tempatnya di Syam melalui cara di luar kebiasaan agar hal ini menjadi petunjuk bagi Bilqis dan pendorong untuk beriman.
Ketika ‘Ifrit dari golongan jin mengatakan: أنا آتيك به قبل أن تقوم من مقامك “Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu”. (Q.S.An.Naml : 39 )
(Maksudnya dalam waktu singkat).
Nabi Sulaiman berkata, “Saya ingin yang lebih cepat dari itu.”
Lalu seorang lelaki yang memiliki pengetahuan dari kitab yang notabene salah seorang paling jujur dan anggota majlis beliau berkata :أنا آتيك به قبل أن يرتد إليك طرفك  “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”.( Q.S.An.Naml : 40)
(Maksudnya sebelum pelupuk matamu kembali terbuka).
“Itu yang saya harapkan,” kata Nabi Sulaiman.
Kemudian lelaki itu berdo’a dan tiba-tiba singgasana itu sudah ada di depan beliau. Mendatangkan singgasana dengan cara demikian adalah salah satu hal yang tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah dan tidak berada dalam batas kemampuan manusia dan jin umumnya.
Nabi Sulaiman mengajukan permintaan ini kepada anggota majlisnya dan lelaki yang sangat jujur itu berkata kepada beliau bahwa saya akan melakukannya. Apakah Nabi Sulaiman kafir sebab mengajukan permintaan tersebut dan apakah lelaki itu telah menyekutukan Allah dengan jawabannya?

Hal ini jelas sangat mustahil. Karena dalam kedua perkataan tersebut tindakan disandarkan berdasarkan cara majaz ‘aqli.
Dan hal ini boleh malah populer. Mengungkap kekaburan dalam masalah ini jika memang di situ terdapat kekaburan adalah bahwa manusia hanya memohon kepada para Nabi dan orang-orang shalih agar memberi syafaat kepada Allah dalam hal-hal yang berada di luar kemampuan manusia dan Allah memberi mereka kemampuan untuk melakukannya.
Orang yang mengatakan : Wahai Nabi Allah ! sembuhkan penyakitku atau bayarlah hutangku, maksud sesungguhnya adalah berilah aku syafaat dalam kesembuhan, berdo’alah untukku agar hutangku terbayar dan bertawajjuhlah kepada Allah menyangkut kondisiku.
Manusia tidak memohon kepada beliau kecuali sesuatu yang Allah telah memberi beliau kemampuan untuk melakukannya dari do’a dan memberi syafaat. Ini adalah keyakinanku menyangkut orang yang mengatakan hal di atas dan saya berserah diri kepada Allah atas keyakinan ini.

Penyandaran dalam perkataan manusia termasuk majaz ‘aqli yang tidak menimbulkan dampak negatif atas orang yang mengatakannya sebagaimana firman Allah ta’ala:
سبحان الذي خلق الأزواج كلها مما تنبت الأرض ومن أنفسهم ومما لا يعلمون
“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui“.( Q.S.Yaasiin : 36 )
dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam: إن مما ينبت الربيع ما يقتل حبطا أو يلم
Penggunaan majaz ‘aqli dalam firman Allah dan sabda Rasul serta orang khusus dan orang awam itu banyak sekali dan tidak perlu dikhawatirkan. Karena keluarnya majaz ‘aqli dari orang-orang yang mengesakan Allah adalah indikasi atas maksud mereka dan sama sekali bukan termasuk perangai buruk. Persoalan ini telah kami jelaskan dengan detail pada pembahasan khusus dalam kitab ini.

Jika engkau memohon maka memohonlah kepada Allah dan jika meminta pertolongan mintalah pada Allah
Judul ini adalah penggalan dari sebuah hadits populer yang diriwayatkan Al Turmudzi dan dinilainya shahih dari Ibnu ‘Abbas dengan status marfu’.

Banyak orang salah faham dalam memahami hadits ini karena mereka menjadikannya sebagai dalil bahwa tidak boleh meminta dan memohon pertolongan secara mutlak, dari sisi apapun, dan dengan cara apapun kecuali kepada Allah.
Mereka menganggap meminta dan memohon pertolongan kepada selain Allah sebagai kemusyrikan yang mengeluarkan dari agama Islam. Dengan anggapan demikian mereka menafikan penggunaan sebab dan mencari bantuan dengannya serta meruntuhkan banyak nash yang ada dalam masalah ini.
Yang benar hadits ini tidak dimaksudkan untuk melarang meminta atau memohon pertolongan kepada selain Allah sebagaimana dilihat dari teksnya. Namun maksudnya adalah melarang lupa bahwa kebaikan yang dihasilkan oleh sebab sesungguhnya berasal dari Allah, dan perintah untuk menyadari bahwa kenikmatan yang ada pada makhluk berasal dan disebabkan Allah.
Berarti makna hadits ini adalah jika anda ingin memohon pertolongan kepada salah seorang makhluk dan hal ini harus dilakukan maka jadikan seluruh sandaranmu kepada Allah semata. Jangan sampai perhatian kepada sebab membuatmu lupa untuk melihat pembuat sebab. Janganlah engkau termasuk orang yang mengetahui apa yang terlihat secara lahir dari kaitan dan relasi antara berbagai hal yang saling berkaitan satu sama lainnya namun melupakan Dzat yang mengaitkannya.

Hadits di atas sendiri mengindisikan pengertian ini. Yakni dalam sabda Nabi setelah ungkapan di atas, yaitu:
واعلم أن الأمة لو اجتمعت على أن ينفعوك بشيء لم ينفعوك إلا بشيء قد كتبه الله لك ,وإن اجتمعت على أن يضروك بشيء لم يضروك إلا بشيء قد كتبه الله عليك.
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya kalau ummat bersatu untuk memberimu manfaat dengan sesuatu maka mereka tidak akan memberimu manfaat kecuali dengan sesuatu yang telah digariskan Allah untukmu. Dan jika mereka bersatu untuk memberimu bahaya dengan sesuatu maka mereka tidak akan memberimu bahaya kecuali dengan sesuatu yang telah digariskan Allah kepadamu.”
Sebagaimana kamu lihat, hadits ini menetapkan ummat bisa memberi manfaat dan bahaya dengan sesuatu yang telah digariskan Allah untuk atau atas seorang hamba. Kelanjutan dari hadits di atas menjelaskan maksud yang dikehendaki Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Mengapa kita mengingkari permintaan bantuan kepada selain Allah padahal terdapat perintah untuk melakukannya dalam banyak tempat dari Al Kitab dan Al Sunnah ?

Allah berfirman:
واستعينوا بالصبر والصلاة   “Dan mintalah pertolongan ( kepada Allah ) dengan sabar dan shalat“. (Q.S.Al.Baqarah : 45 )
وأعدّوا لهم ما استطعتم من قوة  “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan\”. (Q.S.Al.Anfaal : 60)

Firman Allah berikut menceritakan seorang hamba yang shalih, Dzul Qarnain:
قال مامكني فيه ربي خير فأعينونى بقوة أجعل بينكم وبينهم ردما
Dzulqarnain berkata : “Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan ( manusia dan alat-alat ),agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka“. (Q.S.Al.Kahfi : 95)

Dan dalam penyelenggaraan shalat khauf yang ditetapkan dengan Al Kitab dan Al Sunnah ditetapkan saling tolong menolong sebagian makhluk dengan yang lain.
Demikian pula Allah Subhanahu wa ta’ala menginstruksikan kaum mu’minin untuk mengambil sikap waspada terhadap musuh mereka.

Begitu pula dalam Rasulullah mendorong kaum mu’minin untuk saling membantu memenuhi kebutuhan yang lain, memudahkan orang yang tertimpa kesulitan dan memberi solusi atas orang yang dilanda problema serta dalam ancaman beliau terhadap ketidakpedulian atas hal-hal ini, semuanya banyak terdapat dalam Al Sunnah.
روي الشيخان : من كان في حاجة أخيه كان الله في حاجته
“Barangsiapa memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allah akan memenuhi kebutuhannya.” (HR Al Bukhari dan Muslim).
وروي مسلم وأبو داود وغيرهما عنه عليه الصلاة والسلام : والله في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه.
“Allah senantiasa membantu seorang hamba sepanjang ia selalu membantu saudaranya.” (HR Muslim, Abu Dawud dan perawi lain).

Rasulullah bersabda :  إن لله خلقا خلقهم لحوائج الناس يفزع الناس إليهم في حوائجهم , أولئك الآمنون من عذاب الله.
“Allah memiliki makhluk yang Dia ciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manusia datang kepada mereka mengadukan kebutuhannya. Mereka itu adalah orang-orang yang aman dari adzab Allah.”

Renungkanlah sabda Nabi  (Manusia datang kepada mereka mengadukan kebutuhannya).
Beliau tidak menjadikan manusia tersebut sebagai orang-orang musyrik dan juga tidak sebagai orang-orang yang melakukan maksiat.

إن لله عند أقوام نعما أقرها عندهم ما كانوا في حوائج المسلمين مالم يملوهم , فإذا ملوهم نقلها إلى غيرهم.
“Sesungguhnya bagi Allah pada beberapa kaum ada nikmat yang Dia tetapkan pada mereka sepanjang mereka memenuhi kebutuhan kaum muslimin dan sepanjang mereka tidak menyusahkan kaum muslimin. Jika mereka menyusahkan kaum muslimin, Allah akan memindahkan nikmat itu kepada kaum lain.” Hadits marfu’.
إن لله أقواما اختصهم بالنعم لمنافع العباد , يقرهم فيها ما بذلوها فاذا منعوها نزعها منهم فحولها إلى غيرهم.
“Sesungguhnya Allah mempunyai beberapa kaum yang Dia khususkan dengan beberapa nikmat untuk kemanfaatan para hamba. Allah menetapkan mereka dalam nikmat-nikmat itu sepanjang mereka mendermakannya. Jika mereka menolak mendermakannya maka Allah akan mencabut nikmat-nikmat itu dan mengalihkannya kepada kaum lain.” (HR Muslim dan Ibnu Abi Al Dunya. Al Hafidh Al Mundziri mengatakan seandainya dikatakan sanad hadits ini hasan maka itu hal yang mungkin.
قال صلى الله عليه وسلم : لأن يمشي أحدكم مع أخيه في قضاء حاجته- وأشار بأصبعه-أفضل من أن يعتكف في مسجدي هذا شهرين.
“Sungguh jika salah satu dari kalian berjalan bersama saudaranya dalam rangka memenuhi kebutuhan saudaranya – Nabi memberi isyarat dengan jari-jari beliau – itu lebih utama daripada ia beri’tikaf di masjidku ini selama dua bulan.” HR Al Hakim. “Isnadnya hasan,” kata Al Hakim.

Jika anda meminta, memintalah kepada Allah 
Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam : إذا سألت فاسأل الله maka ia tidak bisa dijadikan pijakan dan dalil untuk melarang meminta atau tawassul. Siapapun yang memahami dari hadits ini secara harfiah adanya larangan memohon kepada selain Allah secara mutlak atau larangan tawassul dengan orang lain secara total maka sungguh ia telah salah jalan dan menipu dirinya. Karena orang yang menjadikan para Nabi dan orang shalih sebagai wasilah ( mediator ) kepada Allah untuk mendapatkan manfaat atau menolak keburukan dari Allah maka tidak lain kecuali ia memohon kepada Allah semata agar memudahkan apa yang ia cari atau menjauhkan darinya keburukan yang dikehendaki Allah seraya bertawassul kepada-Nya dengan orang yang ia jadikan sebagai mediator.
Dalam hal ini, ia menggunakan sebab yang dijadikan Allah untuk keberhasilan para hamba dalam memenuhi kebutuhan mereka kepada Allah. Barangsiapa yang menggunakan sebab yang diperintahkan Allah untuk menempuhnya dalam rangka meraih keinginannya, maka ia tidak memohon kepada sebab tapi memohon kepada yang menetapkan sebab.
Maka perkataan seseorang : Wahai Rasulullah, saya ingin engkau mengembalikan pandangan mataku, melenyapkan musibah yang menimpaku atau menyembuhkan sakitku maksudnya adalah memohon permintaan-permintaan ini kepada Allah lewat syafaat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Perkataan ini sama dengan ucapan : Do’akan aku dapat begini atau syafaatilah aku dalam ini. Tidak ada perbedaan antara ungkapan di atas dan ungkapan semacam ini. Hanya saja, yang terakhir ini lebih transparan maksudnya daripada yang awal.
Ucapan semisal dua ungkapan di atas yang lebih jelas adalah perkataan orang yang bertawassul : Ya Allah, saya memohon Engkau – lewat Nabi-Mu – memudahkan sesuatu – dari hal yang bermanfaat, atau menolak sesuatu – dari hal yang buruk. Orang yang bertawassul dalam semua contoh di atas tidak memohon keinginannya kecuali kepada Allah.
Dari paparan di atas bisa anda ketahui bahwa berargumentasi atas larangan tawassul dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam إذا سألت فاسأل الله  adalah kesalahan mengarahkan hadits pada pengertian yang jelas keliru. Yaitu bahwasanya siapapun tidak boleh memohon sesuatu kepada selain Allah. Karena orang yang memahami hadits di atas dengan pengertian demikian, sepenuhnya keliru.
Cukup untuk menjelaskan kesalahan pengertian tersebut bahwa hadits itu sendiri terucap sebagai respon dari Nabi atas pertanyaan Ibnu ‘Abbas sang perawi hadits setelah beliau memancingnya untuk mengajukan pertanyaan. “Nak, maukah engkau aku ajari beberapa kalimat yang Allah akan memberimu manfaat dengannya ?” pancing beliau. Anjuran bertanya manakah yang lebih indah dari dorongan beliau ini ? “Ya, mau,” jawab Ibnu ‘Abbas. Lalu Rasulullah membalas dengan hadits yang ada ungkapan di atas ini.
Seandainya kita mengikuti pemahaman keliru di atas niscaya orang bodoh tidak boleh bertanya kepada orang pintar, orang yang jatuh dalam tempat yang membinasakan tidak boleh memohon pertolongan kepada seseorang yang bisa menyelamatkannya, yang memberi piutang tidak boleh meminta hutang kepada pihak yang berhutang, seseorang tidak boleh meminta hutang, di hari kiamat manusia tidak boleh meminta syafaat kepada para Nabi, dan Nabi Isa tidak boleh menyuruh manusia untuk meminta syafaat kepada junjungan para rasul Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena dalil yang digunakan untuk menopang anggapan ini bersifat umum yang mencakup keabsahan apa yang telah kami sebutkan dan belum kami sebutkan.
Apabila golongan Wahabi mengatakan bahwa yang dilarang adalah meminta kepada para Nabi dan orang shalih yang sudah berada dalam kuburan di alam barzakh karena mereka tidak bisa melakukan apa-apa maka bantahan terhadap alasan ini telah dijelaskan secara panjang lebar di muka, di mana kesimpulannya adalah bahwa mereka hidup dan mampu memberikan syafaat dan do’a. Kehidupan mereka adalah kehidupan barzakh yang layak dengan status mereka yang dengan kehidupan itu mereka mampu memberi manfaat dengan berdo’a dan memohonkan ampunan.
Orang yang mengingkari kehidupan para Nabi dan orang-orang shalih di alam kubur paling tidak ia buta terhadap hadits yang statusnya hampir mutawatir yang menunjukkan bahwa orang-orang mu’min yang mati dalam kehidupan barzakhnya mampu mengetahui, mendengar, mampu mendoakan dan aktivitas-aktivitas lain yang dikehendaki Allah.
Maka apa anggapanmu menyangkut pembesar-pembesar barzakh dari para Nabi dan orang-orang shalih ?
Dalam hadits tentang isra’ yang tidak hanya berstatus shahih namun masyhur di sana diceritakan tentang sikap para Nabi terhadap Nabi terbaik Muhammad di mana mereka shalat menjadi ma’mum beliau, menjadi pendengar khutbah beliau dan do’a mereka terhadap beliau di langit hingga ummat Muhammad tidak mendapat dispensasi pengurangan shalat dari 50 kali menjadi 5 kali dalam sehari semalam berkat syafaat beliau yang berulang-ulang, kecuali setelah mendapat isyarat dengan syafaat dari Nabi yang mendapat firman Allah, Musa ibn ‘Imran kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa pengertian yang dimaksud hadits di muka tidak seperti anggapan mereka yang nyata-nyata salah, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Karena maksud dari hadits itu adalah peringatan terhadap tindakan meminta-minta harta orang lain tanpa ada kebutuhan tapi semata-mata hanya menginginkannya, anjuran bersikap menerima (qana’ah) terhadap apa yang dimudahkan Allah meskipun sedikit, tidak meminta apa yang tidak dibutuhkannya dari barang-barang milik orang lain, dan merasa cukup dengan memohon kepada Allah dengan mengharap karunia-Nya, karena Allah mencintai mereka yang terus-menerus memohon dalam berdoa. Berbeda dengan manusia yang justru membencinya. الله يغضب إن تركت سؤاله وبنى آدم حين يسأل يغضب Allah murka jika kamu tidak memohon kepadanya. Sedang anak Adam marah saat diminta sesuatu
Makna hadits di atas adalah sebagai berikut : Jika engkau silau melihat harta orang lain dan ingin memilikinya maka janganlah engkau meminta harta miliknya tapi mintalah pertolongan Allah dengan cara memohon kepada-Nya dari karunia-Nya bukan meminta kepada hamba-Nya.

Jadi hadits tersebut membimbing untuk bersifat qana’ah dan membersihkan diri dari sifat tamak.
Di manakah posisi makna hadits ini dari tindakan memohon kepada Allah melalui para Nabi dan wali-Nya atau permintaan syafaat para Nabi untuk mereka yang memintanya dalam hal di mana Allah menjadikan syafaat mereka terdapat padanya, yang notabene faktor terkuat tercapainya keberhasilan. Namun jika manusia sudah mengendarai hawa nafsu maka hawa nafsu akan membawanya jauh menjelajahi ruang prasangka dan tergelincir dari rel pemahaman yang benar.

Sesungguhnya saya tidak dapat dijadikan tempat untuk memohon
Dalam sebuah hadits terdapat kisah bahwa pada era Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam ada orang munafik yang menyakiti orang mu’min. “Marilah bersama-sama kita memohon pertolongan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dari si munafik itu,” ajak Abu Bakar. فقال النبي : إنه لا يستغاث بي وإنما يستغاث بالله“Sesungguhnya saya tidak bisa dijadikan tempat untuk memohon. Hanya Allah lah yang menjadi tempat memohon.” Jawab Nabi.  (HR Al Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir).
Hadits ini terkadang dijadikan argumentasi oleh orang yang menolak memohon pertolongan dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Argumentasi ini dari awal sudah keliru. Sebab jika hadits ini dipahami secara tekstual niscaya maksudnya adalah melarang memohon pertolongan dengan beliau secara total sebagaimana yang terlihat dari kalimatnya.
Pemahaman teskstual ini dimentahkan oleh sikap sahabat bersama beliau. Di mana mereka memohon pertolongan dan hujan lewat beliau serta meminta do’a kepada beliau dan beliau pun mengabulkannya dengan suka cita.
Karena itu hadits ini harus diberi interpretasi yang relevan dengan keumuman hadits-hadits agar kesatuan nash-nash bisa terangkai. Kami katakan bahwa yang dimaksud denganإنه لايستغاث بي  adalah menetapkan substansi tauhid dalam dasar keyakinan. Yaitu bahwa pemberi pertolongan sejatinya adalah Allah. Adapun hamba, ia hanyalah mediator dalam memohon pertolongan atau maksud Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah mengajari para sahabat bahwa tidak boleh meminta kepada hamba sesuatu yang berada di luar kapasitasnya seperti meraih surga, selamat dari neraka, hidayah dalam arti terhindar dari kesesatan, dan jaminan mengakhiri ajal dalam kebahagiaan.
Hadits ini tidak menunjukkan atas pengkhususan memohon pertolongan dan memberikannya dengan orang hidup bukan orang mati. Ia tidak memiliki kaitan dengan pembedaan ini.
Justru, secara tekstual hadits ini melarang memohon pertolongan dengan selain Allah selamanya tanpa ada diskriminasi antara yang hidup dan yang mati.  Namun pengertian ini bukan yang dimaksud oleh hadits ini seperti telah kami jelaskan di muka. Ibnu Taimiyyah dalam Al Fataawaa mengisyaratkan pengertian ini dimana ia mengatakan, “Terkadang dalam firman Allah dan sabda Rasul terdapat ungkapan yang memiliki arti sahih namun sebagian orang memahaminya diluar yang dikehendaki Allah dan rasul-Nya.
Pemahaman ini tidak bisa diterima. Sebagaimana Al Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir meriwayatkan bahwa sesungguhnya pada era Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam ada orang munafik yang menyakiti orang mu’min. “Marilah bersama-sama kita memohon pertolongan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dari si munafik itu,” ajak Abu Bakar. “Sesungguhnya saya tidak bisa dijadikan tempat untuK memohon. Hanya Allah lah yang menjadi tempat memohon.” Pengertian hadits ini yang dikehendaki Nabi adalah pengertian kedua. Yakni meminta kepada beliau sesuatu yang tidak mampu melakukannya kecuali Allah. Jika tidak dikehendaki pengertian kedua, buktinya para sahabat memohon do’a kepada beliau dan meminta hujan lewat beliau sebagaimana keterangan dalam Shahih Al Bukhari dari Ibnu ‘Umar RA, ia berkata, “Kadang aku mengingat seorang penyair seraya kupandang wajah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang memohon hujan. Maka beliau tidak turun sampai talang mengalir airnya.”وأبيضو يستسقى الغمام بوجهه ثمال اليتامى عصمة للارامل   Figur berwajah putih dimana mendung dimintakan hujan berkat dirinya  Sang pemelihara anak-anak yatim dan pelindung para janda.

Kata-kata yang digunakan yang terdapat dalam masalah ini
Terdapat kata-kata yang digunakan untuk memuji Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebabkan kesamaran bagi sebagian golongan Wahabi kemudian mereka memvonis kufur yang mengucapkannya.

Di antaranya seperti:
ولا رجاء إلا هو  
“Tidak ada harapan kecuali Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam”
وأنا مستجير به “ 
Saya meminta perlindungan kepada beliau”
وإليه يفزع في المصائب  “
Hanya kepada beliau tempat berlindung dalam segala musibah
وإن توقفت فمن سأل   “Jika saya bimbang maka kepada siapa saya meminta?”
Maksud mereka yang menggunakan ungkapan ini adalah tidak ada tempat berlindung yang dari makhluk, tidak ada harapan yang dari manusia, hanya kepada beliau tempat berlindung dalam segala musibah, yakni yang dari kalangan makhluk karena kemuliaan beliau di sisi Allah dan agar beliau bertawajjuh dan memohon kepada-Nya, dan jika saya bimbang kepada siapa saya meminta? Yakni yang dari para hamba Allah.
Meskipun dalam do’a dan tawassul kami tidak menggunakan ungkapan-ungkapan seperti di atas dan kami juga tidak mengajak serta mendorong untuk menggunakannya karena menghindari kesalahfahaman dan menjauhi ungkapan-ungkapan yang diperselisihkan serta karena berpegang teguh dengan ungkapan yang jelas yang tidak diperselisihkan, hanya saja kami menilai menjatuhkan vonis kufur kepada orang yang menggunakan ungkapan-ungkapan tersebut adalah tindakan tergesa-gesa yang tidak terpuji dan tindakan yang tidak bijaksana.

Mengapa?
Karena kita harus melihat fakta bahwa yang mengungkapkannya adalah dari kalangan yang mengesakan Allah, bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Dia dan Muhammad adalah rasul-Nya, mendirikan shalat, membenarkan semua rukun agama, percaya kepada Allah sebagai Tuhan, Muhammad sebagai Nabi, dan Islam sebagai agama. Yang dengan semua hal ini mereka memiliki perlindungan sebagai pemeluk agama dan memperoleh kehormatan Islam.
Dari Anas RadiAllahu Anhu,  ia berkata :   من صلى صلاتنا وأسلم واستقبل قبلتنا وأكل ذبيحتنا فذلك المسلم الذى له ذمة الله ورسوله فلا تخفروا الله فى ذمته. “Barangsiapa yang melakukan shalat seperti shalat kami, masuk Islam dan menghadap kiblat kami serta memakan hewan sembelihan kami maka ia adalah seorang muslim yang memiliki perlindungan dari Allah dan rasul-Nya, maka janganlah kalian tidak menepati Allah dalam orang yang dilindungi-Nya.” (HR Al Bukhari).
Berangkat dari uraian di atas maka kewajiban kita ketika menjumpai dalam perkataan kaum mu’minin penyandaran sesuatu kepada selain Allah Subhanahu wa ta’ala maka kita wajib mengarahkannya ke dalam majaz ‘aqli dan tidak ada jalan untuk mengkafirkan mereka, karena majaz ‘aqli digunakan dalam Al Kitab dan Al Sunnah.
Terlontarnya penyandaran tersebut dari orang yang mengesakan Allah cukup untuk menjadikannya sebagai majaz ‘aqli. Sebab keyakinan yang benar adalah keyakinan bahwa Allah adalah pencipta para hamba dan seluruh perbuatan mereka. Tidak ada seorang pun yang bisa memberi pengaruh kecuali Allah, baik ia mati atau hidup. Keyakinan ini adalah tauhid.
Berbeda dengan orang yang meyakini keyakinan lain, ia akan terjerumus dalam kemusyrikan. Tidak ada dalam kaum muslimin secara mutlak, orang yang meyakini seseorang bersama-sama dengan Allah bisa berbuat, meninggalkan, memberi rizqi, menghidupkan atau mematikan. Adapun ungkapan-ungkapan yang menimbulkan kesalahpahaman maka maksud mereka yang mengungkapkannya adalah memohon syafaat kepada Allah dengan mediator/perantara tersebut. Maka maksud sesungguhnya adalah Allah.
Tidak ada seorang muslim pun yang meyakini menyangkut orang yang ia mohon atau ia minta bahwa orang orang tersebut mampu untuk mengerjakan dan meninggalkan sesuatu tanpa melibatkan Allah, dari dekat atau jauh atau melibatkan Allah dalam taraf yang lebih dekat kepada kemusyrikan terhadap Allah.
Aku berlindung kepada Allah dari melemparkan tuduhan syirik atau kufur kepada seorang muslim karena alasan keliru, bodoh, lupa atau berijtihad. Kami katakan bahwa jika kebanyakan dari mereka di atas melakukan kesalahan dalam mengungkapkan permohonan ampunan, surga, kesembuhan, kesuksesan dan permintaan mereka akan hal ini langsung kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka sesungguhnya mereka tidak melakukan kesalahan dalam aspek tauhid.
Sebab maksud dari ungkapan mereka adalah memohon syafaat kepada Allah lewat perantara itu. Seolah-olah mereka mengatakan, “Wahai Rasulullah!, mintalah kepada Allah agar Dia mengampuni dan merahmatiku. Saya bertawassul dengan beliau kepada Allah dalam memenuhi kebutuhanku, melenyapkan kesusahanku dan mewujudkan harapanku.”
Para sahabat Rasulullah sendiri memohon pertolongan dengan beliau, memohon bantuan, meminta syafaat dan mengadukan kondisi mereka dari kefakiran, penyakit, musibah, hutang dan kegagalan kepada beliau sebagaimana telah kami sebutkan. Sudah maklum bahwa Nabi tidak memberikan bantuan dan sebagainya kepada para sahabat secara independen berkat dirinya atau kapasitasnya. Tapi beliau memberikannya atas izin, perintah, dan kekuasaan Allah. Nabi hanyalah seorang hamba yang memiliki kedudukan dan statusnya sendiri di sisi Allah. Beliau juga memiliki kemuliaan yang dengannya beliau memasukkan kepada Allah banyak manusia yang percaya kepada beliau, membenarkan risalahnya dan meyakini keutamaan dan kemuliaannya.
Saya meyakini bahwa orang yang memiliki keyakinan berlawanan dengan pemaparan di atas telah dikategorikan musyrik. Dan dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat. Karena itu, Anda akan melihat bahwa dalam sebagian kesempatan Nabi mengingatkan keyakinan di atas jika tampak lewat wahyu atau dari keadaan bahwa orang yang bertanya atau mendengar itu kurang keyakinannya.
Dalam sebuah kesempatan beliau menginformasikan bahwa dirinya adalah junjungan anak Adam ( sayyidu waladi Adam ). Dalam kesempatan lain beliau menjelaskan kepada sahabat bahwa yang menjadi junjungan adalah Allah. Dalam satu kesempatan para sahabat memohon bantuan kepada beliau kemudian beliau mengajarkan mereka untuk bertawassul dengan dirinya. Namun dalam waktu yang lain mengatakan kepada mereka, “Sesungguhnya yang bisa dimintai bantuan adalah Allah sedang saya tidak bisa dimintai bantuan.” Di satu saat beliau para sahabat meminta dan memohon pertolongan dengan beliau dan beliau pun mengabulkan keinginan mereka. Malah beliau juga memberikan alternatif kepada mereka untuk bersabar menghadapi musibah dengan jaminan masuk sorga atau mengatasi musibah itu segera, sebagaimana Nabi pernah memberikan pilihan kepada seorang buta, perempuan yang mengidap epilepsi, dan kepada Qatadah yang kehilangan penglihatan.
Dalam suatu waktu beliau berkata kepada para sahabat, “Jika kamu meminta maka mintalah kepada Allah dan jika kamu memohon pertolongan maka memohonlah kepada Allah .” Dalam satu kesempatan beliau mengatakan, “Barangsiapa yang menghilangkan satu kesusahan seorang mu’min.” Namun dalam kesempatan beliau berkata, “Tidak ada yang mendatangkan segala kebaikan kecuali Allah.”
Dari uraian di atas, jelas bagi kamu bahwa akidah kita, alhamdulillah, adalah akidah paling jernih dan paling suci. Seorang hamba tidak bisa melakukan aktivitas apapun dengan mengandalkan dirinya sendiri betapapun kedudukan dan derajatnya, meskipun ia adalah makhluk paling utama Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Beliau bisa memberi, menolak, memberi bahaya, memberi manfaat, mengabulkan dan memberikan pertolongan hanya berkat Allah Subhanahu wa ta’ala. Jika beliau dimintai bantuan, pertolongan atau diminta sesuatu maka beliau akan menghadap Allah lalu memohon, berdo’a, memberi syafaat kemudian akhirnya dikabulkan dan diterima syafaat beliau.
Beliau tidak pernah mengatakan kepada para sahabat yang memohon pertolongan dan sebagainya, “Janganlah kalian meminta sesuatu kepada saya. Janganlah kalian memohon kepadaku. Janganlah mengadukan keadaan kalian kepadaku. Tapi bertawajjuhlah kepada Allah dan mintalah kepada-Nya. Karena pintu Allah terbuka dan Dia dekat serta mengabulkan. Dia tidak membutuhkan siapapun dan tidak ada penghalang dan penjaga pintu antara Dia dan makhluk-Nya”.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar