Sholawat dalam Sholat

Tulisan sebelumnya kami telah menyampaikan hakikat panggilan sayyidina dan fatwa ulama Mesir mengenai hukum mengucap “Sayyiduna” kepada Rasulullah Shallallahu Alahi Wasallam sebagaimana yang termuat padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/12/hakikat-sayyidina/
Kesempatan kali ini kami menyampaikan hukum membaca sholawat dalam sholat (tasyahhud akhir). Hal ini disampaikan karena mereka berpendapat bid’ah dlolalah menambahkan sebutan sayyidina khususnya dalam sholawat pada ibadah sholat (tasyahhud akhir) dan memaksakan pendapat mereka bahwa “yang paling baik” adalah sholawat Ibrahimiyyah padahal Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak pernah mengatakan hal itu apalagi memaksanya.
Pendapat mereka seperti itu sebenarnya dipengaruhi oleh kaidah tanpa dalil dari Al-Qur’an dan Hadits yakni “LAU KAANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIHI” (Seandainya hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya) seperti yang telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/08/lau-kaana-khoiron/
Karena kaidah tersebut mereka belum dapat membedakan antara wajib mengikuti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maupun para Sahabat ra dengan boleh memilih apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maupun para Sahabat ra
Hal ini terjadi karena para ulama (ahli ilmu) tidak berpegang lagi kepada hukum-hukum yang telah diuraikan susah payah oleh para Imam Mazhab. Mereka menetapkan hukum-hukum dengan merujuk sendiri pada Al-Qur’an dan Hadits namun belum mempunyai kemampuan selayaknya imam mujtahid. Syarat-syarat menetapkan hukum berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits atau syarat menjadi imam mujtahid telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/12/2010/03/31/imam-mujtahid/
Kesalahpahaman seperti itu terjadi dikarenakan ulah para ulama (ahli ilmu) yang mengaku-aku apa yang disampaikan oleh mereka adalah sesuai dengan pemahaman sebagaimana Salafush Sholeh untuk menutupi bahwa mereka belum sampai derajat imam mujtahid namun ingin pendapatnya didengar orang.
Jangankan hukum membaca sholawat dalam tasyahhud akhir , bacaan tasyahhud akhir pun sebagian imam mazhab berpendapat bukanlah termasuk fardhu (ditinggalkan membatalkan sholat) karena yang difardhukan semua imam mazhab pada hakikatnya sepakat hanyalah duduk tasyahhud.
Berlandaskan beberapa hadits seperti,
Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash ra , bahwa Nabi Shallallahu alaihi wasallam berdabda kepadanya, “Apabila engkau mengangkat kepalamu dari sujud terakhir, lalu duduk selama waktu tasyahhud, maka sempurnalah sholatmu”. Inilah apa yang dilakukan Rasulullah yang terkenal dan mutawatir.

Hanafiyah berpendapat bahwa bacaan tasyahhud akhir adalah wajib dan bukan fardhu
Malikiyyah berpendapat bahwa bacaan tasyahhud akhir adalah sunnah. Mereka berdalil dengan hadits Abdullah bin Amr di atas.

Adapun bentuk kalimat tasyahhud, ada beberapa pilihan riwayat yang datangnya dari Rasulullah, dan dengan bentuk apapun yang dibaca oleh orang yang shalat maka hal itu cukup baginya.
Bacaan tasyahhud, Hanafiyyah dan Hanabilah berpegang kepada hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ra.
Malikiyah berpegang kepada hadits yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abdul Qori yang mendengar dari Sayyidina Umar bin Al-Khatab ra.
Sementara Asy-Syafi’iyah lebih cenderung berpegang kepada hadits dari Ibnu Abbas ra.

Bacaan tasyahhud akhir saja kita boleh memilih berdasarkan apa yang telah digali oleh para Imam Mazhab apalagi bacaan sholawat setelah bacaan tasyahhud akhir karena setelah bacaan tasyahhud akhir Rasullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan, “Lalu sesudah itu pilihlah oleh kalian doa yang kalian sukai, dan berdoalah dengan itu” (diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud ra)
Rasulullah tidak pernah mengharuskan menggunakan sholawat Ibrahimiyyah atau mengatakan lebih baik dengan sholawat Ibrahimiyyah
Dari Ali Ra, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam apabila sholat beliau membaca doa terakhir di antara tasyahhud dan salam adalah: “Allahummagh firli ma qaddamtu …..
Dari Abdullah bin Amr, “Bahwa Abu Bakar ra berkata kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, “Ajarkanlah aku sebuah doa yang selalu bisa aku baca dalam sholatku!”. Rasulullah bersabda, “Bacalah Allahumma inni dzalamtu nafsi…..
Dari Aisyah Radhiyallahu anha, ia berkata “Bahwa Nabi Shallallahu alaihi wasallam membaca doa dalam sholat: “Allahumma inni a’udzubika….
Dari Fudhalah bin Ubaid, ia berkata, “Rasulullah mendengar seorang laki-laki berdoa dalam sholatnya, namun tidak bersholawat kepada Nabi Shallallahu alaihi wasallam, maka Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Orang itu terburu-buru, kemudian beliau panggil laki-laki itu, dan bersabda kepadanya dan kepada yang lainnya “Apabila salah seorang daripadamu sholat maka mulailah dengan memuji dan menyanjung Allah, kemudian bersholawatlah kepada Nabi Shallallahu alaihi wasallam, lalu berdoalah sesuai yang engkau kehendaki HR Ahmad, Abu Dawud dan dishahihkan oleh at Tirmidzi
Hadits ini dijadikan dalil oleh Hanafiyah dan Malikiyah bahwa tidak ada kewajiban bersholawat kepada Nabi Shallallahu alaihi wasallam, dimana Rasulullah tidak memerintahkan kepada laki-laki tersebut untuk mengulang sholatnya, dan memperkuat hadits Ibnu Mas’ud yang telah dikemukakan di atas, pada hadits itu ada kalimat setelah tasyahhud, “Kemudian pilihlah dari doa-doa yang engkau suka” (HR Al-Jamaah).
Imam As Syafi’i berpendapat hukumnya fardhu membaca sholawat namun tidak ditetapkan wajib dengan sholawat Ibrahimiyah dan beliau memfardhukan pula membaca sholawat pada tasyahhud awal. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengatakan “Apabila salah seorang daripadamu sholat maka mulailah dengan memuji dan menyanjung Allah, kemudian bersholawatlah kepada Nabi Shallallahu alaihi wasallam, lalu berdoalah sesuai yang engkau kehendaki” (HR Ahmad, Abu Dawud dan dishahihkan oleh at Tirmidzi)
Jadi yang difardhukan hanyalah membaca sholawatnya. Begitupula Imam Nawawi dalam kitab Raudhatuth Thalibin berkata : ditegaskan sekurang-kurangnya dengan “Ya Allah berilah rahmat kepada Muhammad” atau ”Semoga Allah menyampaikan salam kepada RasulNya”
Pada hakikatnya sholawat kepada Nabi Shallallahu alaihi wasallam selain sebagai salam dan penghormatan sekaligus merupakan ungkapan cinta kita atau pujian kita kepada Sayyidina Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Sebagaimana terlukis dalam hadits berikut
Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Jarir dari Manshur dari Abu Wa`il dari Abdullah radliallahu ‘anhu dia berkata; “Kami biasa membaca (shalawat); ‘Assalaamu ‘alallahi, assalaamu ‘alaa fulaan (Semoga keselamatan terlimpahkan kepada Allah, semoga keselamatan terlimpah kepada fulan).” Maka suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada kami: ‘Sesungguhnya Allah adalah Salam, apabila salah seorang dari kalian duduk dalam shalat (tahiyyat), hendaknya mengucapkan; ‘AT-TAHIYYATUT LILLAHI -hingga sabdanya- SHAALIHIIN, (penghormatan, rahmat dan kebaikan hanya milik Allah -hingga sabdanya- hamba-hamba Allah yang shalih). Sesungguhnya jika ia mengucapkannya, maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba yang shalih baik di langit maupun di bumi, ‘ (lalu melanjutkan); ‘ASYHADU ALLAAILAAHA ILLALLAH WA ASYHADU AN NAMUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASUULUH (Aku bersaksi bahwa tiada Dzat yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya).’ Setelah itu ia boleh memilih pujian yang ia kehendaki.’ (HR Bukhari)

Sholawat Ibrahimiyyah yang terurai dalam hadits riwayat Imam Muslim terlukis bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terdiam hingga para Sahabat ra berangan-angan bahwa mereka tidak menanyakannya kepada beliau. Lihathttp://www.indoquran.com/index.php?surano=5&ayatno=46&action=display&option=com_muslim
Sebagian ulama menyampaikan hakikat “diam” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika beliau akan mencontohkan sholawat Ibrahimiyyah tersebut karena “diminta” mencontohkan ungkapan cinta atau pujian untuk dirinya sendiri. Wallahu a’lam
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

2 Tanggapan
boedy
lebih lebih anda zon…sama sekali tdk mempunyai derajat untuk menguraikan pendapat imam madzhab..ingat,menguraikan saja tdk mapu,apalgi sampai derajat mujtahid.tapi bicara melebihi imam mujtahid,sayang anda tdk sadar..dgn demikian justru anda membuat hukum sendiri dg ilmu anda yg tdk jelas..tunjukkan riwayat para sahabat yg dlm sholat mereka menambahkan lafadz sayyidina.coba..anda telah di kuasai oleh pikiran rusak anda zon..sayang sepertinya fikiran pr sahabat,berbeda dg fikiran anda.


mutiarazuhud
Mas Boedy, yang kami lakukan hanyalah menguraikan pendapat para Imam Madzhab, karena kami tentu tidak berkompetensi melakukan istinbath (penggalian hukum dari Al-Qur’an dan Hadits).
Mas Boedy kita boleh bersholawat atau memuji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana yang kita inginkan atau sebagaimana kita ingin mewujudkan kecintaan kita kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang terpentingnya matan (redaksi) sholawat tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits. Perhatikan baik-baik perkataan para Sahabat ra dalam tulisan kami. Baik kami cuplikan
……..(lalu melanjutkan); ‘ASYHADU ALLAAILAAHA ILLALLAH WA ASYHADU AN NAMUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASUULUH (Aku bersaksi bahwa tiada Dzat yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya).’ Setelah itu ia boleh memilih pujian yang ia kehendaki.’ (HR Bukhari)

=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar