Tidak bertempat

Mengapa kaum wahabi atau salaf(i) belum dapat meyakini bahwa seorang muslim dapat seolah-olah melihat Allah swt ?
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“…. hendaknya kamu menyembah Allah seakan–akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu .…” (H.R. Muslim)
Mereka berkeyakinan bahwa Allah swt menempati Arsy, sehingga mereka merasa Allah swt itu begitu “jauh”nya karena Arsy adalah tempat yang tinggi. Arsy (Bahasa Arab عَرْش, ‘Arasy) adalah makhluk tertinggi. Sehingga mereka mungkin sukar merasakan kedekatan dengan Allah swt.
Allah swt berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)“. (QS Al-’Alaq [96]:19 )
Allah ta’ala berfirman: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi), dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. (Q.S. as-Syura: 11)
Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya.
Ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa alam (makhluk Allah) terbagi atas dua bagian; yaitu benda dan sifat benda. Kemudian benda terbagi menjadi dua, yaitu benda yang tidak dapat terbagi lagi karena telah mencapai batas terkecil (para ulama menyebutnya dengan al Jawhar al Fard), dan benda yang dapat terbagi menjadi bagian-bagian (jisim).

Benda yang terakhir ini terbagi menjadi dua macam;
1. Benda Lathif: sesuatu yang tidak dapat dipegang oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan sebagainya.
2. Benda Katsif: sesuatu yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya.
Adapun sifat-sifat benda adalah seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan sebagainya. Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah ta’ala tidak menyerupai makhluk-Nya, bukan merupakan al Jawhar al Fard, juga bukan benda Lathif atau benda Katsif. Dan Dia tidak boleh disifati dengan apapun dari sifat-sifat benda.
Ayat tersebut cukup untuk dijadikan sebagai dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Karena seandainya Allah mempunyai tempat dan arah, maka akan banyak yang serupa dengan-Nya. Karena dengan demikian berarti ia memiliki dimensi (panjang, lebar dan kedalaman). Sedangkan sesuatu yang demikian, maka ia adalah makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam dimensi tersebut.
Rasulullah  shallallahu  ‘alayhi wasallam  bersabda:  “Allah  ada  pada azal  (keberadaan  tanpa  permulaan)  dan  belum  ada  sesuatupun  selain-Nya”. (H.R. al Bukhari, al Bayhaqi dan Ibn al Jarud).
Makna hadits  ini bahwa Allah ada pada azal  (keberadaan  tanpa permulaan),  tidak  ada  sesuatu  (selain-Nya)  bersama-Nya.  Pada  azal  belum  ada  angin,  cahaya,  kegelapan,  ‘Arsy,  langit,  manusia,  jin,  malaikat,  waktu,  tempat  dan  arah. Maka  berarti  Allah  ada  sebelum terciptanya  tempat  dan  arah,  maka  Ia  tidak  membutuhkan  kepada keduanya  dan  Ia  tidak  berubah  dari  semula,  yakni  tetap  ada  tanpa tempat  dan  arah,  karena  berubah  adalah  ciri  dari  sesuatu  yang  baru (makhluk).
Al Imam Sayyidina Ali -semoga Allah meridlainya- berkata yang maknanya: “Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)” (diriwayatkan oleh Abu Nu’aym (W. 430 H) dalam Hilyah al Auliya’, juz I hal. 72).
Maksud perkataan sayyidina Ali tersebut adalah sesungguhnya berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang kecil atau berkeyakinan bahwa Dia memiliki bentuk yang meluas tidak berpenghabisan merupakan kekufuran.
Semua bentuk baik Lathif maupun Katsif, kecil ataupun besar memiliki tempat dan arah serta ukuran. Sedangkan Allah bukanlah benda dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda, karenanya ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah mengatakan: “Allah ada tanpa tempat dan arah serta tidak mempunyai ukuran, besar maupun kecil”.
Karena sesuatu yang memiliki tempat dan arah pastilah benda. Juga tidak boleh dikatakan tentang Allah bahwa tidak ada yang mengetahui tempat-Nya kecuali Dia. Adapun tentang benda Katsif bahwa ia mempunyai tempat, hal ini jelas sekali. Dan mengenai benda lathif bahwa ia mempunyai tempat, penjelasannya adalah bahwa ruang kosong yang diisi oleh benda lathif, itu adalah tempatnya. Karena definisi tempat adalah ruang kosong yang diisi oleh suatu benda.
Al Imam al Bayhaqi (W. 458 H) dalam kitabnya al Asma wa ash-Shifat,  hlm.  506,  mengatakan:  “Sebagian  sahabat  kami  dalam menafikan  tempat  bagi  Allah mengambil  dalil  dari  sabda  Rasulullah shalllallahu ‘alayhi wa sallam:
Maknanya:  “Engkau  azh-Zhahir  (yang  segala  sesuatu menunjukkan akan  ada-Nya),    tidak  ada  sesuatu  di  atas-Mu  dan  Engkaulah  al Bathin  (yang  tidak  dapat  dibayangkan)  tidak  ada  sesuatu  di  bawah-Mu” (H.R. Muslim dan lainnya).
Jika  tidak  ada  sesuatu  di  atas-Nya  dan  tidak  ada  sesuatu  di bawah-Nya berarti Dia tidak bertempat”.
Allah tidak memerlukan sesuatu dari semesta alam ini termasuk tempat, sebagaimana firman Allah swt yang artinya
“Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam” (QS Al Ankabut [29]:6 )
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor, 16830

Satu Tanggapan
fidi
” Allah Harus Tidak Bertempat ”
karena ” Allah Tidak berawal dan Tidak berakhir ”
sedangkan yang bertempat ” adalah Makhluk ”
Karena ” mahluk berawal dan berakhir ”
Waduh Pusiing Bermain logika
Tapi Masuk akal kan
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar