Sampai karena silaturrahim

Dalam kitab tafsirnya, ketika Ibnu Katsir menafsirkan firman Allah ta’ala
وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS Najm [53]:39 )
Beliau menuliskan, “Maksudnya, sebagaimana dosa orang lain tidak adakan dibebankan kepadanya, maka demikian pula ia tidak akan mendapatkan pahala melainkan dari apa yang telah diusahakannya sendiri. Dari ayat ini pula Imam asy Syafi’i rahimahullah dan para pengikutnya menyimpulkan bahwa pengiriman pahala bacaan al Qur’an itu tidak akan sampai kepada orang yang sudah meninggal dunia, karena bacaan itu bukan amal dan usaha mereka. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak pernah mensunnahkan atau memerintahkan ummatnya untuk melakukan hal tersebut. Selain itu beliau juga tidak pernah membimbing ummatnya berbuat demikian, baik dalam bentuk nash maupun melalui isyarat. Dan perbuatan itu juga tidak pernah dinukil dari para Sahabat ra. Sekiranya hal itu merupakaan suatu hal yang baik, niscaya mereka akan mendahului kita semua dalam mengamalkannya. Dan cara-cara mendekatkan diri kepada Allah harus didasarkan pada nash-nash, tidak boleh didasarkan pada berbagai qiyas dan pendapat semata. Sedangkan doa’a dan amal jariyah sudah menjadi kesepakatan para ulama dan ketetapan nash syari’at bahwa hal itu akan sampai kepada si mayit“

Pada hakikatnya Ibnu Katsir menuliskan “LAU KAANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIHI” (Sekiranya hal itu merupakaan suatu hal yang baik, niscaya mereka akan mendahului kita semua dalam mengamalkannya) khusus pada permasalahan “pengiriman pahala bacaan al-Qur’an“ bukan beliau menetapkan sebuah kaidah bahwa segala hal yang baik pasti sudah dilakukan oleh para Sahabat ra padahal kenyataannya pastilah tidak seluruh hal yang baik, harus selalu pernah dilakukan oleh para Sahabat ra.  Bagaimana dengan amal kebaikan atau hal yang baik yang telah dilakukan oleh orang-orang sebelum zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Sungguh amal kebaikan, tidak selalu terkait dengan dicontohkan atau tidak dicontohkan oleh para Sahabat ra. Selengkapnya telah diuraikan dalam tulisan pada
Ibnu Katsir mengutip pendapat Imam Syafi’i bahwa “pengiriman pahala bacaan al Qur’an itu tidak akan sampai kepada orang yang sudah meninggal dunia” adalah pendapat yang masyhur atau pendapat yang terdengar oleh khalayak umum.
Bagaimana sebenarnya penjelasan pendapat Al Imam Syafi’i maka kita harus mengetahui dari muridnya seperti Al Imam An Nawawi.
Al Imam An Nawawi adalah murid Al Imam Syafi’i yang bersambung sanadnya kepada beliau, maka kita mengambil pendapat dari muridnya karena muridnya lebih tahu disaat seperti ketika Al Imam Syafi’i berbicara, sebagaimana yang diriwayatkan berikut,

*****awal kutipan*****
Suatu waktu Al Imam Syafi’i ditanya oleh seseorang yang kaya raya, dia berkata: “wahai Al Imam, aku berjima’ dengan istriku di siang hari bulan Ramadhan, apa yang harusnya aku lakukan?”,
maka Al Imam berkata : “berpuasalah 2 bulan berturut-turut, dan jika terputus sehari saja maka harus diulang kembali dari awal”,
maka orang itu berkata : “tidak ada yang lain kah”, Al Imam menjawab : “tidak ada”.

Kemudian datang seorang miskin dan bertanya : “wahai Al imam, aku berjima’ dengan istriku di siang hari bulan Ramadhan, apa yang harus aku perbuat?”
Al Imam menjawab : “berilah makan 60 orang miskin”, orang itu berkata : “ tidak ada yang lainkah wahai Al Imam?”, Al Imam Syafi’I menjawab : “tidak ada”.

Maka muridnya bertanya : “ wahai Al Imam mengapa engkau katakan demikian kepada orang yang bertanya, padahal memberi makan 60 orang miskin atau berpuasa 2 bulan berturut-turut keduanya bisa dilakukan?!”,
maka Al Imam berkata : “karena orang yang pertama adalah orang yang kaya raya, jika dikatakan kepadanya agar memberi makan 60 orang miskin maka bisa jadi ia akan berkumpul dengan istrinya setiap hari di siang bulan ramadhan, dan orang yang kedua karena dia orang miskin jika disuruh puasa maka hal itu sangat mudah baginya karena ia telah terbiasa dengan keadaan lapar setiap harinya, maka disuruh agar memberi makan 60 orang miskin, dan hal ini sulit baginya namun supaya tidak diulanginya lagi perbuatan itu”. Demikian fatwa Al Imam Syafi’i, maka Al Imam mengatakan bahwa bacaan Al qur’an tidak sampai kepada yang wafat, karena orang-orang kaya yang di masa itu jauh hari sebelum mereka wafat, mereka akan membayar orang-orang agar jika ia telah wafat mereka menghatamkan Al Qur’an berkali-kali dan pahalanya untuknya, maka Al Imam Syafi’i mengatakan bahwa pahala bacaan Al qur’an tidak bisa sampai kepada yang wafat.
*****akhir kutipan*****
Pada hakikatnya pahala bacaan Al Qur’an sampai kepada ahli kubur melalui perantaraan keikhlasan dan hubungan silaturrahim yang telah terjalin antara ahli kubur dengan mereka yang mengirimkan pahala bacaan. Tanpa keikhlasan dan hubungan silaturrahim maka pahala bacaan Al Qur’an tidak bisa sampai kepada ahli kubur.
Hubungan silaturrahim yang dilakukan oleh ahli kubur selama hiduplah merupakan amal jariyah / sedekah yang menyebabkannya sampai pahala bacaan Al Qur’an, sebagaimana hadits berikut
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah -yaitu Ibnu Sa’id- dan Ibnu Hujr mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Isma’il -yaitu Ibnu Ja’far- dari Al ‘Ala’ dari Ayahnya dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila salah seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfa’at baginya dan anak shalih yang selalu mendoakannya.” (HR Muslim 3084) Link : 
Oleh karenanya kita semasa hidup sebaiknya menjalin silaturrahim seluas-luasnya kepada kaum mukmin dengan cara bertawassul dengan kaum mukmin baik yang masih hidup dan yang sudah wafat.
Sebagaimana yang telah kami sampaikan bahwa bertawassul adalah adab berdoa yang sebaiknya kita lakukan sebelum masuk kepada doa inti atau permohonan inti kita kepada Allah Azza wa Jalla. Bertawassul adalah jalan kita mendekatkan diri kepada Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Firman Allah ta’ala yang artinya
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (washilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan” (QS Al Maa’idah [5]: 35 )”
Bagaimanakah cara  menjalin silaturrahim (bertawassul) kepada kaum mukmin baik yang masih hidup dan yang sudah wafat ?

Sangat mudah sekali dan kadang kita tidak menyadarinya yakni selalulah dalam berdoa diawali dengan bertawassul, contohnya,
“Astaghfirullahalazim li wali waa lidaiya wali jami il muslimina wal muslimat wal mukminina wal mukminat al ahya immin hum wal amwat”
Ampunilah aku ya Allah yang Maha Besar, kedua ibu bapaku, semua muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat yang masih hidup dan yang telah mati.”
Kitapun setiap hari tanpa disadari telah bertawasul dengan orang-orang sholeh dengan mengucapkan “Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin”
Para Sahabat menyampaikan tawasul dengan orang-orang sholeh baik yang sudah wafat maupun yang masih hidup ketika kita membaca doa tasyahhud bahwa “sesungguhnya jika kita mengucapkan “Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin”, maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba yang shalih baik di langit maupun di bumi“. Perkataan ini dilukiskan dalam hadits berikut
Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Jarir dari Manshur dari Abu Wa`il dari Abdullah radliallahu ‘anhu dia berkata; “Kami biasa membaca (shalawat); ‘Assalaamu ‘alallahi, assalaamu ‘alaa fulaan (Semoga keselamatan terlimpahkan kepada Allah, semoga keselamatan terlimpah kepada fulan).” Maka suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada kami: ‘Sesungguhnya Allah adalah Salam, apabila salah seorang dari kalian duduk dalam shalat (tahiyyat), hendaknya mengucapkan; ‘AT-TAHIYYATUT LILLAHI -hingga sabdanya- SHAALIHIIN, (penghormatan, rahmat dan kebaikan hanya milik Allah -hingga sabdanya- hamba-hamba Allah yang shalih). Sesungguhnya jika ia mengucapkannya, maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba yang shalih baik di langit maupun di bumi, ‘ (lalu melanjutkan); ‘ASYHADU ALLAAILAAHA ILLALLAH WA ASYHADU AN NAMUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASUULUH (Aku bersaksi bahwa tiada Dzat yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya).’ Setelah itu ia boleh memilih pujian yang ia kehendaki.’ (HR Bukhari 5853)  link: 
Hamba-hamba shalih yang di langit adalah hamba-hamba shalih yang secara dzahir sudah wafat namun mereka hidup di sisi Allah Azza wa Jalla

Selengkapnya tentang bertawasul telah diuraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/02/23/2011/02/23/tawasul/
Sedangkan penjelasan lain tentang sampainya pahala bacaan Al Qur’an , termuat dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/06/26/kiriman-amal/
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar