Kami melanjutkan tulisan sebelumnya tentang tahlilan dan anak sholeh yang termuat pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/30/tahlilan-dan-anak-sholeh/
Pendapat Imam Asy Syafi’i berkata dalam Al Umm (I/318) ”Aku benci al ma’tam yaitu berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan.”
Makna sebenarnya ma’tam adalah perkumpulan ratapan dan tangisan.
Orang orang Jahiliyah jika ada yg mati di keluarga mereka maka mereka membayar para “penangis” untuk meratap dirumah mereka, semacam adat istiadat mereka seperti itu, memang sudah ada orangnya yang bertugas dan dibayar.
Perkumpulan ratapan dan tangisan yang tidak disukai oleh Imam Syafii, dan tentunya Imam Syafii mengetahui bahwa hal itu buruk dan dimasa beliau masih ada sisa sisanya yaitu tidak meratap dan menjerit-menjerit, tapi disebut perkumpulan duka, namun beliau tak menjatuhkan hukum haram, akan tetapi makruh, karena ma’tam yg ada dimasa beliau sudah jauh berbeda dg ma’tam yg dimasa Jahiliyah, karena jika ma’tam yg dimasa jahiliyah sudah jelas jelas haram, dan beliau melihat dimasa beliau masih ada sisa sisa perkumpulan tangisan dirumah duka, maka beliau memakruhkannya
Hal yang harus kita ingat bahwa kalimat “benci/membenci” pada lafadh para muhadditsin yg dimaksud adalah “Kariha/yakrahu/Karhan” yg berarti Makruh.
Makruh mempunyai dua makna, yaitu :makna bahasa dan makna syariah.
Makna makruh secara bahasa adalah benci,
makna makruh dalam syariah adalah hal hal yg jika dikerjakan tidak mendapat dosa, dan jika ditinggalkan mendapat pahala.
Dalam istilah para ahli hadits jika bicara tentang suatu hukum, maka tak ada istilah kalimat benci, senang, ngga suka, hal itu tak ada dalam fatwa hukum, namun yg ada adalah keputusan hukum, yaitu haram, makruh, mubah, sunnah, wajib
Jika ada fatwa para Imam dalam hukum, tidak ada istilah benci/suka, tapi hukumlah yg disampaikan, maka jelas sudah makna ucapan imam syafi’i itu adalah hukumnya, yaitu makruh, bukan haram
Jika mereka menetapkan hukum pastilah diikuti dengan dalil dari Al-Qur’an maupun Hadits.
Ke-makruh-an timbul jika ahli waris dapat menimbulkan suasana hati yang disebut oleh Imam Asy Syafi’i sebagai “memperbaharui kesedihan” atau kemungkinan timbul suasana hati yang tidak ikhlas akan ketetapan Allah Azza wa Jalla terhadap ahli kubur.
Keberhasilan dakwah Wali Songo (Wali Allah generasi ke sembilan) tidak lepas dari cara dakwahnya yang mengedepankan metode kultural atau budaya.
Wali Songo mengajarkan nilai-nilai Islam secara luwes dan tidak secara frontal menentang tradisi Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat, namun membiarkan tradisi itu berjalan, hanya saja isinya diganti dengan nilai Islam.
Dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal, maka sanak famili dan tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka bukannya mendoakan mayit tetapi begadang dengan bermain judi atau mabuk-mabukan atau ke-riang-an lainnya.
Wali Songo tidak serta merta membubarkan tradisi tersebut, tetapi masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit. Jadi istilah tahlil seperti pengertian sekarang tidak dikenal sebelum Wali Songo.
Disini tahlil muncul sebagai terobosan cerdik dan solutif dalam merubah kebiasaan negatif masyarakat, solusi seperti ini pula yang disebut sebagai kematangan sosial dan kedewasaan intelektual sang da’i yaitu Walisongo.
Kematangan sosial dan kedewasaan intelektual yang benar-benar mampu menangkap teladan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dalam melakukan perubahan sosial bangsa Arab jahiliyah. Dinamika pewahyuan Al-Quran pun sudah cukup memberikan pembelajaran bahwa melakukan transformasi sosial sama sekali bukan pekerjaan mudah, bukan pula proses yang bisa dilakukan secara instant.
Jadi acara kumpul di rumah ahli waris diisi dengan amal kebaikan berupa pembacaan untaian doa, dzikir, pembacaan surat Yasiin dan tahlil.
Tujuan Wali Songo mengisi acara kumpul dengan amal kebaikan agar tidak timbul kesedihan atau yang dikatakan oleh Imam Asy Syafi’i pada awal tulisan ini sebagai “memperbaharui kesedihan” pada ahli waris dengan adanya dzikrullah untuk menegaskan ke Maha Kuasa an sehingga suasana hati ahli waris tetap ikhlas menerima takdir Allah ta’ala terhadap ahli kubur.
Sehingga acara tahlilan bermanfaat sebagaimana manfaat ziarah kubur antara lain.
1. Dapat mendoakan ahli kubur
2. Dapat mengingat mati.
3. Dapat mencegah dari perbuatan-perbuatan maksiat.
4. Dapat melemaskan hati seseorang yang mempunyai hati yang keras.
5. Dapat menghilangkan kegembiraan dunia (sehingga lupa akan kehidupan akherat).
6. Dapat meringankan musibah (bencana).
7. Dapat menolak kotoran hati.
8. Dapat mengukuhkan hati, sehingga tidak terpengaruh dari ajakan-ajakan yang dapat menimbulkan dosa.
9. Dapat merasakan bagaimana keadaan seseorang itu ketika akan menghadapi ajalnya (sakaratul maut).
10. Dapat mengingatkan untuk selalu mempersiapkan bekal sebelum kedatangan ajal. Sebaik-baik bekal adalah selalu menjalankan amal ketaatan (menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya) dan mengerjakan amal kebaikan (amal sholeh).
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
10 Tanggapan
pada 1 Juni 2011 pada 11:32 am | Balasabdul hadi
saya mengakui, kejeniusan peran wali songgo, akan tetapi hal ini juga menimbulkan seolah-olah hal ini wajib, bahkan syariah islam, belum lagi hidayangan yang memberatkan keluarga, bahkan ada beberapa tempat ditarifkan, yang berbicara kepada saya padahal dia kalngan yang pro dengan acara tahlian, hal ini harus kita pecahkan bersama
pada 2 Juni 2011 pada 10:47 am | Balasmamo cemani gombong
@abdul hadi masalah hukum dah jelas “bukan wajib” berarti kalau nggak mampu ya jangan memaksakan dong ……………ini menurut ana salah satu solusi .
pada 3 Juni 2011 pada 12:24 am | BalasAjam
ana hanya akan menangggapi pokok dari pokok persoalan, yakni hukum makruh.
al akh zon berkata bahwa makruh mempunyai 2 makna, yakni secara bahasa dan secara istilah. ana tidak akan membahas makna pertama, tapi hanya akan membahas makna kedua, yaitu secara istilah.
al akh zon berkata bahwa makna makruh secara istilah adalah suatu perbuatan yang apabila ditinggalkan mendapat pahala dan apabila dikerjakan tidak berdosa. ini adalah makna yang benar, namun hanya dari 1 sisi.
kata makruh itu juga bisa bermakna haram. karena itu, para ulama mutaqoddimin membagi makna makruh menjadi 2, yaitu karohatut tahriima dan karohatut tanziiha. kalo karohatut tanziiha ana rasa kita semua paham, yaitu sebagaimana pengertiannya disebutkan oleh al akh zon dalam artikel di atas. adapun yang ana bahas secara khusus adalah karohatut tahriima alias makruh tahrim.
contoh makruh tahrim adalah firman Alloh: “Semua itu kejahatannya amat DIBENCI di sisi Tuhanmu” ( Al-Israa’ : 38)
yang dimaksud dengan “semua itu” adalah membunuh, berzina, syirik, makan harta anak yatim, durhaka pada orang tua dll sebagaimana disebutkan pada ayat2 sebelumnya. nah, apakah “semua itu” dalam ayat tersebut adalah sesuatu yang apabila dikerjakan tidak berdosa? siapa bilang tidak berdosa apabila membunuh, berzina, syirik, makan harta anak yatim, dan durhaka pada orang tua?
perhatikan pula firman Alloh: “Tetapi Allah menjadikan kamu ‘cinta’ kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu BENCI kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan” (Al-Hujuraat : 7)
benarkah tidak berdosa apabila mengerjakan kekafiran, kefasiqan dan kedurhakaan?
kemudian menurut ulama, contoh makruh yang tahrim adalah Imam Bukhori membuat bab dalam kitab shohih beliau: “Bab Apa-Apa yang Dimakruhkan dari Niyahah (Meratap) terhadap Mayit” dan ” Bab Apa-Apa yang Dimakruhkan dari Namimah (Mengadu Domba)”.
apakah meratap dan mengadu domba itu tidak berdosa apabila dikerjakan? jika akal ini masih sehat, tentu saja akan berkata itu adalah dosa.
lebih jelas tentang makruh tahrim, para ulama berkata:
Mahmuud As-Subkiy: “MAKRUH dengan makna HARAM menurut An-Nu’maan (Abu Haniifah) dan Maalik (adalah) membaca Al-Qur’an di sisi kubur, karena perbuatan tersebut tidak dilandasi satupun riwayat dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula dari amal salaf. Akan tetapi amal yang mereka lakukan adalah bershadaqah (atas nama mayit) dan berdoa, bukan membaca Al-Qur’an.” [Ad-Diinul-Khaalish]
Ibnu Muflih berkata: “DIMAKRUHKAN mencukur rambut tengkuk tanpa ada keperluan. Dan beliau (Ahmad) juga berkata : ‘Hal itu termasuk perbuatan orang-orang Majusi, (sedangkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda Barangsiapa yang meniru/menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka’. Ini menunjukkan PENGHARAMAN” [Aadaabusy-Syar’iyyah, 3/333
=========================================
kembali pada masalah tahlilan atau selamatan, apakah hal itu termasuk makruh tahrim atau makruh tanzih?
jawabnya adalah termasuk makruh tahrim. indikasinya adalah bahwa ada niyahah (ratapan) di dalamnya.
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : “ada dua hal pada manusia dimana keduanya menyebabkan kufur : mencaci-maki nasab (garis keturunan) dan niyahah (meratap) atas mayyit” (Muslim)
dapat dipahami dari ahdits tersebut bahwa niyahah adalah haram, sebagaimana haramnya mencaci maki garis keturunan.
Abu Sa’id Al Khudry berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam melaknat wanita yang meratap dan orang-orang yang mendengarkannya (membiarkannya).” (Abu Dawud)
semua perkara yang kepadanya dikenai laknat adalah haram, karena laknat akan diikuti dengan azab, sedangkan azab diturunkan kepada seseorang yang berdosa. ini jelas menunjukkan bahwa orang yang meratap adalah berdosa.
pada 6 Juni 2011 pada 5:33 pm | Balasrifnal
@ajam
Bukankan sudah dijelaskan bahwa Tahlilan adalah upaya untuk mengganti tradisi meratapi Jenazah. ketika seseorang mengadakan tahlilan memang suasana duka itu nampak masih terasa bagi orang yang ditinggalkan, namun tidak sampai terjadi ratapan seperti yang anda kemukakan. siapa bilang membaca ayat al-qur’an disamping kuburan itu gak ada dalilnya..
pada 7 Juni 2011 pada 3:44 pmAjam
al akh rifnal
niat mereka baik, yaitu menghilangkan tradisi meratapi mayit. dan memang benar dalam islam yang namanya niyahah atau meratapi mayit itu adalah haram dan merupakan adat jahiliyah.
hanya saja, dalam tahlilan atau selamatan itu masih ada niyahah, sekalipun dalihnya menghilangkap niyahah. apa wujud niyahah dalam acara tahlilan atau selamatan?
niyahah dalam acara tahlilan memang tidak ada tangisan, merobek-robek abju, menjambak-jambak rambut, dan hal-hal lain yang jelas kita ketahui keharamannya. wujud niyahah dalam acara tahlilan atau selamatan adalah “berkumpulnya orang-orang di rumah mayit dan menghidangkan makanan”.
Dari Jarir bin ‘Abdillah Al-Bajaly radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
كنا نرى الاجتماع إلى أهل الميت وصنعة الطعام من النياحة
“Kami (para shahabat) menganggap berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka (kepada para tamu) merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit)” (HR. Ahmad nomor 6905 dan Ibnu Majah nomor 1612).
Dari Thalhah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
قدم جرير على عمر فقال : هل يناح قبلكم على الميت. قال : لا. قال : فهل تجتمع النسآء عنكم على الميت ويطعم. قال : نعم. فقال : تلك النياحة.
“Jarir mendatangi ‘Umar, kemudian ‘Umar berkata : “Apakah kamu sekalian suka meratapi mayit ?”. Jarir menjawab : “Tidak”. ‘Umar berkata : “Apakah diantara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya ?”. Jarir menjawab : “Ya”. ‘Umar berkata : “Hal itu sama dengan niyahah (meratapi mayit)”. (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/487).
Dari Sa’id bin Jubair radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
من عمل الجاهلية : النياحة والطعام على الميت وبيتوتة المرأة ثم أهل الميت لبست منهم
“Merupakan perkara Jahiliyyah : An-Niyahah, hidangan keluarga mayit, dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit” (HR. Abdurrazzaq 3/550 dan Ibnu Abi Syaibah)
Imam An-Nawawi berkata :
وإما إصلاح أهل الميت طعاما ويجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شيء غير مستحبة وهو بدعة.
“Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan yang dibenci (makruh tahrim). (Jelasnya) perbuatan tersebut termasuk bid’ah” (Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab 5/186 Daarul-Fikr, Beirut, 1417)
Imam Ibnu Hajar Al-Haitami Asy-Syafi’i berkata :
وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة مكروهة لما صح عن جرير بن عبد الله
“Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari penghidangan makanan oleh keluarga mayit dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah munkarah (terlarang) lagi dibenci (makruh tahrim), berdasarkan keterangan shahih dari Jarir bin ‘Abdillah” (Tuhfatul-Muhtaj 1/577)
Imam Ibnu ‘Abidin Al-Hanafy berkata :
ويكره اتخاذ الضيافة من الطعام و من أهل الميت لأنه شرع في السرور لا في الشرور وهي بدعة مستقبحة.
“Dimakruhkan (makruh tahrim) hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam waktu bahagia, bukan dalam waktu-waktu musibah. Dan hal itu merupakan bid’ah yang buruk bila dilaksanakan” (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin 2/240)
Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki berkata :
وأما جمع الناس على طعام ببيت الميت فبدعة مكروهة
“Adapun berkumpul di dalam keluarga mayit yang menghidangkan makanan, hukumnya bid’ah yang dibenci (makruh tahrim)” (Hasyiyah Ad-Dasuqi ‘alasy-Syarhil-Kabiir 1/419)
=======================================
Syaikh An-Nawawi Al-Bantani:
أما الطعام الذي ويتجمع عليه الناس ليلة دفن الميت – المسمى بالوحشة – فهو مكروه ما لم يكن من مال الأيتام وإلا فيحرم.
“Adapun menghidangkan makanan yang ditujukan bagi orang-orang yang berkumpul di malam penguburan mayit – yang biasa disebut al-wahsyah – adalah dibenci (makruh tahrim), bahkan diharamkan apabila biayanya diambil dari harta-harta anak yatim” (Nihayatuz-Zain fii Irsyadil-Mubtadi’in halaman 281)
=======================================
dan telah menjadi sunnatulloj, apabila bid’ah dihidupkan, maka akan dimatikan sunnah yang semisalnya. lalu apa sunnah yang dimatikan itu?
yaitu bagi orang lain yang tidak tertimpa musibah, disunnahkan untuk membuatkan makanan bagi keluarga mayit.
budaya tahlil yg berkembang di negeri tidak hanya seputar upacara memperingati hari kematian, biasanya jg diadakan pada acara2 selamatan lainnya.. semoga Allah menerima semua amal kita
pada 7 Juni 2011 pada 6:33 pm | Balasmamo cemani gombong
HUKUM SELAMATAN HARI KE-3, 7, 40, 100, SETAHUN, DAN 1000 HARI
Hukum selamatan hari ke-3, 7, 40, 100, setahun, dan 1000 hari diperbolehkan dalam syari’at Islam. Keterangan diambila dari kitab “Al-Hawi lil Fatawi” karya Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi jilid 2 halaman 178 sebagai berikut: قال الامام أحمد بن حنبل… رضي الله عنه فى كتاب الزهد له : حدثنا هاشم بن القاسم قال: حدثنا الأشجعى عن سفيان قال قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام , قال الحافظ ألو نعيم فى الجنة: حدثنا أبو بكر بن مالك حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل حدثنا أبى حدثنا هاشم بن القاسم حدثنا الأشجعى عن سفيان قال: قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام Artinya: “Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra di dalam kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan kepadaku Hasyim bin Qasim sambil berkata: Telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: TelaH berkata Imam Thawus (ulama besar zaman Tabi’in, wafat kira-kira tahun 110 H / 729 M): Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut. Telah berkata al-Hafiz Abu Nu’aim di dalam kitab Al-Jannah: Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Malik, telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepadaku Ubay, telah menceritakan kepadaku Hasyim bin al-Qasim, telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus: Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.” Selain itu, di dalam kitab yang sama jilid 2 halaman 194 diterangkan sebagai berikut: ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن و انهم أخذوها خلفا عن سلف الى الصدر الأول ِArtinya: “Sesungguhnya, kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di Mekkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai sekarang, dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama, yaitu sahabat.” @ mas Ajam ……..satu hal lagi nggak akan selesai sampai kiamat……..salam
pada 9 Juni 2011 pada 12:14 am | Balas'Ajam
antum kurang memperhatikan tulisan ana. coba antum simak kembali baik-baik.
acara yasinan atau tahlilan atau selamatan itu adalah haram ditinjau dari beberapa alasan:
1) adanya niyahah, yaitu berkumpulnya manusia di rumah ahli keluarga mayit.
2) keluarga mayit menghidangkan makanan.
3) dilaksanakan pada hari ke 3, 7, 40, 100, 100 dst.
sangat berbeda jika dibandingkan dengan apa yang antum kemukakan:
1) tidak ada perkumpulan di rumah keluarga mayit.
2) orang2 yang membuatkan makanan untuk keluarga mayit.
3) berturut-turut selama 7 hari.
Mhn maaf numpang nanya :
1. apa alasan nye untuk yg 40 ,100. 1000, dst ?
2. Bukakkah Imam Syafi’i dlm kitab al Uum I /318 , sdh jelas membenci orang kumpul kumpul dirumah ahli mayit, apapun alasannya.
3. Bahwa tahlil itu merupakan salah satu strategi da’wah ( waktu itu ), ane sangat setuju. Budaya mmg harus kite hormati, jadi jgn mencari cari dalil untuk membenarkan sesuatu yg salah .
4.Kasian orang yg kaga mampu, klo harus ngutang kesana kesini, sekedar memberi makan minum orang yg datang tahlilan…mmg sih yg talilan itu kaga minta makan minum, tapi ….faktanya liat dilapangan….., sudah mendapat kesedihan akibat kehilangan salah satu keluarganya, harus bayar hutang lagi..seekor kambing warisan satu satunya terpaksa hrs dijual untuk biaya makan minum……makan hartanye anak yatim…..
5.Ane acc aze ame pelaksanaan tahlil, tapi seharusnya diteruskan dakwah wali 9 tsb…….dan diluruskan maksud dan tujuannya……afwan.
pada 18 Agustus 2011 pada 1:50 am | BalasMoh Nadjib
Aye setuju banget dengan komentar terakhir.
Terus saja orang yang suka ngadain tahlilan kematian menyudutkan pihak lain dengan cap anti tahlil. Kalu orang anti tahlil itu bukan muslim dong.
Bukan tahlilannya yang jadi masalah, tetapi yang lain-lainnya itu loh, sampai tuh ust bisa banget lagi bagi2 rejekinya dengan doa yang sambung menyambung, repot deh tuan rumah siapin amplop.
Orang hindu masuk Islam bingung, katanya Islam gak jauh beda sama hindu ya ?
Salut sama wali songo. namanya strategi ada masanya, jangan terus dilanjut bila sudah berbeda jaman dan kebutuhannya.
=====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar