Taatilah Ulama

Kita ketahui bahwa bencana alam, musibah, musibah penyakit, musibah kemiskinan yang kita alami di nergeri kita ini, merupakan cobaan dari Allah ta’ala dan merupakan peringatan Allah ta’ala bagi kita.
Coba kita memeriksa kejadian-kejadian di negeri kita
1.  Keadilan tidak ditegakkan dan kezaliman terjadi di segala bidang.
2.  Pendapat ulama yang sesuai dengan Al-Quran dan Hadits tidak lagi ditaati.
Semakin hari kita mengamati petunjuk Ilahi tersebut,  telah tampak tidak tegaknya keadilan dan terjadinya kezaliman disegala bidang di negeri kita ini.
Sebagian pemimpin tidak lagi amanah, baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif.  Korupsi, kolusi dan nepotisme masih merajalela. Alih-alih terjadi peningkatan perkara yang bisa ditangani KPK , namun ternyata tidak juga menjadi efek jera. Keadilan yang “tebang pilih” dan berdasarkan “pesanan” terlihat jelas di aparat penegak hukum (yudikatif). Bisa kita lihat terakhir ini betapa mudahnya menjadi buron dari dugaan korupsi pada kasus Bank Bali atau kasus “pencemaran nama baik” di Pengadilan Tinggi Tanggerang,  menggugat seorang pasien yanag sesungguhnya tidak mendapat pelayanan baik di sebuah rumah sakit, dll.
Begitu juga pendapat Ulama tidak juga ditaati, bisa kita amati. Fatwa MUI dengan tegas menyatakan kesesatan paham Liberalisme,  Sekularisme  Agama dangan Fatwa MUI No: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 namun pada kenyataan pemimpin negeri  saat ini menggunakan kaum liberalisme sebagai orang-orang dekat / kepercayaan pada team sukses PILPRES mereka seperti Rizal Malarangeng, Saiful Mujani, Hamid Basyaib, Denny JA dll. Begitu juga kerjasama FOX Indonesa dengan Lembaga Survey, menunjukan betapa liberalnya mereka dengan hasil survey dan pencitraan yang salah, hal ini sebenarnya merupakan pembodohan rakyat. Juga pengangkatan Boediono sebagai cawapres yang didukung juga oleh Goenawan Mohammad. Dukungan kepada Boediono diberikan karena ideologi liberalisme yang dianut anggota Mafia Barkeley ini.  Begitulah rangkuman informasi yang bisa kita dapatkan dari majalah Islam Sabili edisi 25 TH XVI, 9 Rajab 1430.
Jika kita berharap tidak lagi ketidak-adilan merajalela di negeri ini makamulailah dengan mentaati para Ulama.
Saat ini hampir semua elite ormas Islam seperti, NU, Muhammadiyah, Hidayatullah, Forum Umat Islam, FPI dan lain-lain mendukung JK.
Sebagaimana yang dicontohkan oleh KH Cholil Ridwan, Ketua MUI, bimbingan yang Beliau sampaikan bahwa, “mempertimbangkan usul fiqih yang menyebutkan pilihlah “yang paling sedikit mudharatnya (bahaya dan negatifnya)”. Kita lihat kandidat JK, background keluarga dan dirinya adalah Muslim. Keluarga besar dan dirinya juga sudah ibadah haji, istri dan keluarga besarnya yang muslimah sehari-hari menutup aurat (berjilbab). Meski begitu umat Islam juga harus memahami bahwa kandidat ini bukan yang ideal, yang akan memperjuangkan tegaknya syariah Islam di Indonesia. Tetapi dibandingkan dua kandidat lainnya, yang ini memiliki kebaikan lebih yang tercermin dari perilaku dan ketaatannya dalam menjalankan ajaran Islam. Dilihat dari sudut keburukan, kejelekan paling sedikit. Dilihat dari sudat kebaikan, kebaikannya lebih banyak.”
Sebaiknya kita tidak mengatakan bahwa Ulama mencampuri urusan politik. Pendapat inilah yang sesungguhnya yng diinginkan kaum sekuler dan liberalisme, memisahkan wilayah agama dengan negara. Namun sesungguhnya agama Islam wajib diimplementasikan di segala aspek kehidupan. Politik dalam Islam berbeda dengan politik sekular yang bersumber kepada spekulasi akal yang rentan berubah, politik Islam bersumber ke pada Wahyu. Jadi, sistem, nilai, visi, misi dan agenda dalam politik Islam juga didasarkan kepada, dan diderivasi dari Wahyu. Politik Islam tidak akan memper juangkan nilai nilai yang bertentangan dengan Wahyu seperti memperjuangkan kebebasan kesesatan akidah, kebebasan seks seperti gerakan homoseksual, lesbianisme, pornografi, dan lainnya. Sebaliknya, politik sekular bisa melindungi dan menyebarkan kekeliruan-kekeliruan kepada masyarakat dengan mengkambing-hitamkan kebebasan, relativitas nilai dan budaya. Politik sekular berjuang untuk meraih kekuasaan yang dibangun dengan dasar kepentingan. Tiada musuh yang abadi dalam politik karena yang ada adalah kepentingan. Inilah jargon sekular yang sering dilontarkan. Dampaknya, politik sekular tidak memiliki integritas. Dengan konsep moral yang pragmatis, semua serba boleh, asal kan kekuasaan dapat diraih. Jikapun terdapat integritas, maka integritas itupun di bangun di atas filsafat pragmatis. Sedangkan dalam politik Islam, yang diperjuangkan adalah kebenaran, bukan semata-mata kekuasaan. Kebenaran lebih penting dari kemenangan yang dilakukan dengan menghalalkan segala cara. Kekuasaan diraih dengan kebenaran dan kekuasaan adalah amanah dan sarana dakwah, untuk menyebarkan rahmat Allah di atas muka bumi. Jadi bukanlah menang atau kalah , namun yang diutamakan adalah benar atau salah.
Akhir-akhir ini banyak umat Islam yang sudah berani melecehkan para ulama dan tidak menghormati mereka lagi, ini adalah salah satu tanda akhir zaman. Padahal dalam Islam, para ulama mendapatkan kedudukan yang sangat terhormat sekali. Diantaranya adalah apa yang disebutkan Allah swt dalam salah satu firman-Nya :
” Wahai orang-orang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rosul-Nya dan ulil amri di antara kamu ” (QS An Nisa’ : 59 )
Dalam ayat tersebut, Allah swt memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mentaati Allah , Rosul-Nya dan ulil amri. Hanya saja ketaatan kepada Allah dan Rosul-Nya adalah ketaatan mutlak, sedangkan ketaaatan kepada ulil amri tergantung kepada ketaatan mereka kepada Allah dan Rosul-Nya. Adapun maksud dari ulil amri dalam ayat tersebut menurut Ibnu Abbas ra, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya adalah para pakar fiqh dan para ulama yang komitmen dengan ajaran Islam. Sedangkan Ibnu Katsir berpendapat bahwa ulil amri di atas mencakup para ulama dan umara ( pemimpin ). Ini sesuai dengan apa yang kita dapati dalam perjalanan sejarah Islam pertama, bahwa Rosulullah saw adalah sosok ulama dan umara sekaligus. Begitu juga para khulafa’ rasyidin sesudahnya : Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali, begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas.
Namun dalam perkembangan sejarah Islam selanjutnya, sangat jarang kita dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Islam. Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara. Dalam posisi seperti ini, manakah yang harus kita taati terlebih dahulu, ulama atau umara ?
Kalau kita perhatikan ayat di atas secara seksama, akan kita dapati bahwa ketaatan kepada ulil amri tergantung kepada ketaatan mereka kepada Allah dan Rosul-Nya.
Sedang orang yang paling mengetahui tentang perintah Allah dan Rosul-Nya adalah para ulama, dengan demikian ketaatan kepada para ulama didahulukan daripada ketaatan kepada umara, karena umara sendiri wajib mentaati ulama yang komitmen dengan ajaran Islam. Dalam hal ini Ibnu Qayyim dalam bukunya ” I’lam Al Muwaqi’in ” ( 1/9 ) menyatakan : ” Pendapat yang benar adalah bahwa para umara’ hanya boleh ditaati jika mereka memerintahkan kepada sesuatu yang berdasarkan ilmu, hal itu bisa terwujud jika para umara’ tersebut mengikuti para ulama, karena ketaatan itu hanya diwajibkan pada hal-hal yang baik –baik saja dan berdasarkan ilmu. Oleh karenanya, kita mentaati ulama, karena mereka mentaati Rosulullah saw, begitu juga kita mentaati umara’ karena mereka mentaati para ulama . ”
Maka, sangatlah indah jika para umara dan ulama tersebut saling bekerjasama untuk memimpin, mengajak, dan memerintahkan umat ini kepada hal-hal yang baik dan bermanfaat di dunia dan akherat, serta melarang hal-hal yang jelek yang akan membawa mudharat bagi bangsa dan umat. Suatu negara akan baik dan maju jika para pemimpin dan ulamanya baik, sebaliknya jika keduanya rusak, maka negarapun pasti akan rusak. Ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Abdullah Mubarak : ” Dua kelompok manusia, jika mereka baik, maka masyarakat akan baik, sebaliknya jika mereka rusak, maka masyarakatpun akan ikut rusak, mereka itu adalah para ulama dan umara’.
Para ulama dalam sebuah masyarakat dan negara mempunyai peran yang sangat besar, mereka berhak untuk ikut campur dalam urusan-urusan yang berhubungan dengan maslahat umat, karena mereka mempunyai bekal dan ilmu yang cukup untuk berbicara masalah tersebut, apalagi kalau hal tersebut dilakukan secara musyawarah dan bersama-sama, tentunya akan lebih kuat dan akan terhindar dari mengikuti hawa nafsu atau sekedar mencari jabatan serta kesenangan dunia, seperti yang dituduhkan oleh beberapa pihak. Bahkan dalam kajian ilmu ushul fiqh, kita dapatkan bahwa Ijma’ ( konsensus ulama ) merupakan sumber hukum ketiga setelah Al Qur’an dan hadist. Hal itu, mengingat bahwa para ulama tersebut tidak akan mungkin berkumpul dan menyepakati hal-hal yang bertentangan dengan syari’at Islam.
” Dan Barang siapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orng mukmin , maka Kami biarkan ia bergelimang dalam kesesatannya, dan Kami masukkan ia ke dalam neraka Jahannam, dan neraka Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali ( QS An Nisa’ : 115 )
Imam Syafi’I melihat dalam kalimat Al Qur’an di atas, yaitu yang berbunyi : ” dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin ” sebagai landasan keabsyahan ijma’ ( konsensus ulama ). Adapun keterangannya adalah barang siapa yang menyelisihi jalan atau cara pandang orang-orang yang beriman, dalam hal ini adalah ijma’ ( konsensus ) para ulama , maka dia diancam oleh Allah dengan neraka Jahannam. Padahal secara kenyataannya para ulama itu adalah bagian dari umat ini, bahkan jumlah mereka sangat sedikit, namun karena kapasitas keilmuan mereka, maka kesepakatan mereka dianggap telah mewakili umat Islam secara keseluruhan. Dari sini, kita mengetahui betapa tinggi kedudukan para ulama di tengah-tengah masyarakat. Di sisi lain, ayat di atas memberikan pesan kepada umat Islam untuk selalu bersama dengan para ulama, dan bertanya kepada mereka tentang hal-hal yang tidak mereka ketahui, sekaligus larangan untuk menyelisihi para ulama dengan mengeluarkan pendapat – pendapat aneh yang tidak ada dasarnya dari Al Qur’an dan hadist. Semoga Allah swt menjaga kita dari berbuat yang tidak sesuai dengan jalannya orang-orang beriman .
Semoga pemimpin yang terpilih nanti, pada sisi Presiden dapat dibentuk Majelis Pertimbangan Ulama Indonesia (MPUI) yang memberikan pertimbangan segala hal yang berhubungan dengan pemerintahan dan kebijakannya agar sesuai dengan Al Quran dan Hadits. MPUI ini terdiri dari wakil seluruh ormas Islam, lembaga penelitian pemerintahan berdasarkan Islam seperti INSIST, pada prinsipnya perwakilan yang disetujui oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar terhindar dari paham yang sesat.
Dalam rangka mendukung siapakah sosok yang didukung oleh para Ulama dan mempertimbangkan bahwa “tak kenal maka tak sayang”, marilah kita lihat sosok JK berdasarkan buah pikiran beliau yang diambil dari 2 buah buku kumpulan pidato tanpa teks yang direkam dan ditranskripsikan dalam judul.
Pikiran-pikiran Praktis M. Jusuf Kalla – Mengurai benang Kusut, 68 Pidato
Bunga Rampai Lepas M. Jusuf Kalla – Krisis Membuahkan Kemajuan., 71 Pidato
Dengan melihat buah pikiran beliau, semoga kita dapat membaca kompetensi/ kemampuan dan harapan beliau dalam memimpin negeri ini kelak.
Berikut cuplikan 8 buah pidato yang diambil dari kedua buku tersebut.
1.  Pemikiran JK bag 1 – Tentang Konflik
2.  Pemikiran JK bag 2 – Tentang Partai
3.  Pemikiran JK bag 3 – Tentang Birokrasi Yang Tidak Korup
Pemikiran JK bag 4 – Kemandirian
5.  Pemikiran JK bag 5 – Koperas dan Zakat
Pemikiran JK bag 6 – Ruang Ditata untuk Rakyat
Pemikiran JK bag 7 -  Demokrasi yang Santun
Pemikiran JK bag 8 – Berdakwah dan Berdagang
Kita berlindung diri kepada Allah swt dari sikap mengindahkan kata hati nurani dan akal sehat, karena dikalahkan oleh nafsu syahwat. Dan sekaligus kita berdo’a agar kita dikaruniai iman dan aqidah yang kokoh sehingga melahirkan mental yang sehat dan hati yang waras –qalbun salim-. Tentunya dengan usaha keras kita menggapai hidayah-Nya
Janganlah karena lebih mementingkan urusan dunia, kita bercerai berai. Marilah kita menjaga Ukhuwah Islamiyah dan saling menghormati pada umat agama lain serta bertoleransi dengan mereka secara tidak berlebihan.

Satu Tanggapan
[...] Apakah benar politikus partai Islam cenderung menjalankan politik sekuler ? Sehingga jelas mereka berpendapat berbeda dengan pendapat para Ulama. Pendapat saya jika politikus partai Islam tidak lagi mentaati para Ulama maka kerugianlah bagi mereka. Lihat tulisan saya [...]
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar