Buya Hamka - Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah

Buya Hamka Ternyata Pengikut Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah
Buya Hamka sendiri pernah berujar  bahwa dirinya bukanlah Hamka, tetapi “Hampa”
Siapa sangka mantan pimpinan Muhammadiyah Buya Hamka ternyata mengikuti tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah dengan berbaiat kepada Abah Anom, mursyid tarekat dari pesantren Suryalaya Tasikmalaya.
Hal ini diungkapkan oleh Dr Sri Mulyati, pengajar tasawwuf UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kepada NU Online baru-baru ini.
“Ini penelitian pribadi saya ketika menyelesaikan disertasi, ada fotonya ketika berbaiat dengan Abah Anom. Cuma ada sebagian orang Muhammadiyah yang tidak percaya,” katanya.
Mantan Ketua Umum Fatayat NU ini menuturkan, Hamka sendiri pernah berujar di Pesantren Suryalaya Tasikmalaya bahwa dirinya bukanlah Hamka, tetapi “Hampa”. “Saya tahu sejarahnya, saya tahu tokoh-tokohnya, tetapi saya tidak termasuk di dalamnya, karena itu saya mau masuk. Akhirnya beliau masuk, karena mungkin haus spiritual,” tandasnya.
Hamka memang dikenal memahami dunia tarekat. Salah satu karyanya adalah Tasawwuf Modern, yang mengupas dunia tasawwuf dan penerapannya pada era modern ini.
Tokoh lain yang dikenal publik sangat rasional tetapi juga mengikuti tarekat adalah Harun Nasution. Menurut Sri Mulyati yang lulus doctor dari McGill University ini, persentuhan Harun dengan dunia tarekat dimulai ketika mengantar proses penyembuhan anaknya ke Suralaya. Ia melihat, hanya dengan sholat tahajjud saja, seseorang bisa sembuh.
“Akhirnya, sampai akhir hayatnya, beliau sangat sufi, ikut Abah Anom, padahal beliau seorang profesor yang sangat rasional,” terangnya.
Ibnu Taimiyah, yang oleh sebagian orang dipercaya anti tarekat, ternyata juga secara pribadi mengikuti tarekat.
“Dalam bukunya Syeikh Hisyam Kabbani, dia belajar dan mempraktekkan tarekat, memang tidak mengajarkan. Kayak Imam Ghozali, belajar dan mempraktekkan, meskipun bukan mursyid, setelah dia tidak puas di ilmu kalam, akhirnya belajar tasawwuf dan mengamalkan sehingga menghasilkan rekonsiliasi,” ujarnya
Catatan kami,
Kita bisa mengambil hikmah bahwa seorang muslim yang sudah “Prof DR” seperti Buya Hamka yang kita kenal sangat berkompetensi dalam bidang syariat dan selalu berpegang pada dalil/hujjah yang tarjih (kuat) sebagaiman motto dari saudara-saudara kita kaum Muhammadiyah namun setelah masuk tharekat sudah dapat menyampaikan bahwa dirinya bukanlah Hamka, tetapi “Hampa”
Begitupula dengan DR Harun Nasution salah seorang ulama yang kita kenal sebagai pemikir rasional bahkan cenderung berpaham liberal dapat keheranan bahwa hanya dengan sholat tahajjud saja, seseorang bisa sembuh.
Sebagian umat Islam kecenderungannya adalah mendekati materialisme atau kebendaan. Lebih melihat pada sudut jasmani dan lupa mendalami ruhani. Pada masa kini, pemahaman serba ilmiah / rasional / logika / dzahir / harfiah / tersurat dan melupakan hikmah / bathin / tersirat.

Dahulu seorang murid jarang kita temui menanyakan kepada gurunya tentang sanad hadits atau keontetikan hadits.
Dahulu kita berangkat dari keyakinan bahwa ulama adalah pewaris Nabi Muhammad Shallahu alaihi wasallam namun sekarang kita bisa temui murid yang berangkat dari saling ketidak-percayaan yang pada hakikatnya mereka berujung berprasangka buruk kepada Allah Azza wa Jalla

Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda dalam hadits Qudsi:
“Sesungguhnya Allah berfirman: “Aku sebagaimana prasangka hambaku kepada-Ku. Aku bersamanya jika ia berdoa kepada-Ku.”[HR.Turmudzi]
Mengenal diri yang terdiri dari jasmani dan ruhani adalah “anak kunci” untuk mengenal Allah (ma’rifatullah)

MAN ‘ARAFA NAFSAHU FAQAD ‘ARAFA RABBAHU
(Siapa yang kenal kenal dirinya akan Mengenal Allah)

Firman Allah Taala yang artinya
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?“  (QS. Fush Shilat [41]:53 )

“Awaluddin makrifatullah”,  awal beragama adalah mengenal Allah Azza wa Jalla (ma’rifatullah).
Akhir beragama adalah berakhlak baik, berakhlakul karimah atau menjadi muslim yang sholeh (sholihin) atau muslim yang Ihsan (muhsin/muhsinin).
Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Indikator beragama dengan benar atau indikator sebagai pengikut Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah berakhlak baik
Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada
Empat golongan manusia yang disisi Allah Azza wa Jalla hanyalah, para Nabi, para Shiddiqin, para Syuhada dan Orang-orang sholeh. Selebihnya adalah manusia yang hanya mengaku-aku ittiba’ li Rasulihi.

Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69 )

“Tunjukilah kami jalan yang lurus” (QS Al Fatihah [1]:6 )
” (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka….” (QS Al Fatihah [1]:7 )
Orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah Azza wa Jalla bukti mereka di jalan lurus, jalan/manhaj Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, jalan agar sampai (wushul) kepada Allah Azza wa Jalla. Tidak ada manhaj yang pasti benar selain manhaj Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.

Ibnu Mas’ud meriwayatkan:
“Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam membuat garis dengan tangannya lalu bersabda, ‘Ini jalan Allah yang lurus.’ Lalu beliau membuat garis-garis di kanan kirinya, kemudian bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan yang sesat tak satu pun dari jalan-jalan ini kecuali di dalamnya terdapat setan yang menyeru kepadanya. Selanjutnya beliau mem-baca firman Allah, ‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus maka ikutilah dia janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan oleh Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (Al-An’am: 153) (Hadits shahih riwayat Ahmad dan Nasa’i)
Jalan-jalan yang sesat atau bukan jalan yang lurus adalah jalan mereka yang memperturutkan hawa nafsu

Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
“…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS Shaad [38]:26 )
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar