Mi’raj

Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki dalam Wa huwa bi al’ufuq al-a’la dan diterjemahkan oleh Sahara , publisher dengan judul Semalam bersama Jibril ‘alaihissalam: Rekaman berbagai peristiwa besar sepanjang perjalanan akbar dari Mekkah al-Mukarramah menuju Sidrah al Muntaha pada halaman 126 menyampaikan
“Bila mi’raj Nabi kita adalah dengan tubuh dan rohnya menuju ke langit sebagai sebuah mukjizat, maka Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan bagi umat Muhammad shallallahu alaihi wasallam, mi’raj ruhani dalam setiap hari lima kali dimana roh-roh mereka merendahkan hawa nafsu dan syahwat mereka dan mereka menyaksikan keagungan Allah subahanahu wa ta’ala, kekuasaanNya dan keesaanNya yang membuat mereka memiliki kepemimpinan di muka bumi bukan melalui cara memperbudak, memaksa, dan mengalahkan orang lain, melainkan dengan cara kebaikan, kemuliaan, kesucian dan keluhuran dan dengan melalui shalat.
Shalat bukanlah suatu upaca keagamaan dan bukanpula gerakan-gerakan yang bersifat mekanis yang maknanya tidak dapat dipahami oleh akal, melainkan suatu “madrasah” yang mendidik orang-orang mukmin atas makna kebaikan, kecintaan, dan keutamaan yang sebagus-bagusnya dalam hiruk pikuk dan kejelekan kehidupan.
Shalat merupakan amal perbuatan yang paling agung dalam Islam. Barangsiapa yang menjaga shalat niscaya ia berbahagia dan beruntung , dan barangsiapa yang menyia-nyiakan maka ia celaka dan merugi. Allah ta’ala mewajibkan shalat kepada hambaNya yang mukmin sebagai penghubung denganNya, untuk mengingat keagunganNya, dan mensyukuri ni’matNya. Karena itu shalat merupakan dasar keberuntungan dan kebahagian dunia dan akhirat.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Perbuatan hamba yang pertama kali dihisab di hari kiamat adalah shalat. Jika shalatnya baik (benar) maka baik pula sekalian amal perbuatannya dan jika shalatnya rusak maka rusak pula sekalian amal perbuatannya (Diriwayatkan oleh at Thabarani dalam al Ausath. Disebutkan juga dalam Majma ‘az Zawaid 1/291)
Tidak heran bila shalat merupakan tanda amal perbuatan, karena dengan terus menerus melaksanakan shalat secara sempurna dengan khusyuk dan tunduk kepada Allah Subhanahu wa ta’ala akan menumbuhkan di dalam jiwa perasaan diawasi oleh Allah Azza wa Jalla. Dan barangsiapa yang merasa diawasi oleh Allah-Mahaagung dan Mahatinggi Allah -maka ia takut kepada Allah, bertakwa kepadaNya, dan melakukan segala sesuatu yang membawa kepada keridhaanNya. Maka ia jujur jika berkata, menepati jika berjanji, menyampaikan amanah, bersabar ketika marah, dan bersyukur jika diberi nilmat.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapatkan kebaikan ia amat kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan sholat. Yang mereka itu tetap mengerjakan sholatnya.” (QS al Ma’arij [70]: 19-23)
Dan barangsiapa yang merasa diawasi Allah -Maha Agung sifatNya – , maka ia mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya, sehingga ia tidak berzina, tidak melakukan riba, tidak dengki, tidak iri, tidak menunda hak-hak manusia, tidak menyia-nyiakan hak keluarganya, familinya, tetangganya, kerabat dekatnya, dan orang-orang senegerinya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, “Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS al Ankabut [29]:45).
Dan barangsiapa tidak khusyuk dalam sholat sholatnya dan pengawasan Allah tidak tertanam dalam jiwanya, maka ia telah bermaksiat dan berhak mendapatkan siksa Allah ta’ala.
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh dariNya” (diriwayatkan oleh ath Thabarani dalam al-Kabir nomor 11025, 11/46)
Mi’raj dan Syubhat tempat bagi Allah  (hal 284)
‘Walaupun dalam kisah mi’raj yang didengar terdapat keterangan mengenai naik-turunnya Rasulullah, seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak tertentu, karena hal itu termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min dzalik.
Naik dan turun itu hanya dinisbahkan kepada hamba, bukan kepada Tuhan. Meskipun Nabi shallallahu alaihi wasallam pada malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau lebih pendek lagi dari itu, tetapi beliau tidak melewati maqam ubudiyah (kedudukan sebagai seorang hamba).
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus bin Matta alaihissalam, ketika ditelan hiu dan dibawa ke samudera lepas ke dasar laut adalah sama hal ketiadaan jarak Allah ta’ala dengan ciptaan-Nya, ketiadaan arahNya, ketiadaan menempati ruang, ketidakterbatasannya dan ketidaktertangkapnya. Menurut suatu pendapat ikan hiu itu membawa Nabi Yunus alaihissalam sejauh perjalanan enam ribu tahun. Hal ini disebutkan oleh al Baghawi dan yang lainnya.
Apabila anda telah mengetahui hal itu, maka yang dimaksud bahwa Nabi Shallallahu walaihi wasallam naik dan menempuh jarak sejauh ini adalah untuk menunjukkan kedudukan beliau di hadapan penduduk langit dan beliau adalah makhluk Allah yang paling utama. Penegertian ini dikuatkan dengan dinaikkannya beliau diatas Buraq oleh Allah ta’ala dan dijadikan sebagai penghulu para Nabi dan Malaikat, walaupun Allah Mahakuasa untuk mengangkat beliau tanpa menggunakan buraq.
Mi’raj dan Arah (hal 286)
Ketahuilah bahwa bolak-baliknya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam antara Nabi Musa alaihissalam dengan Allah subhanahu wa ta’ala pada malam yang diberkahi itu tidak berarti adanya arah bagi Allah subhanahu wa ta’ala. Mahasuci Allah dari hal itu dengan sesuci-sucinya.
Ucapan Nabi Musa alaihissalam kepada beliau, “Kembalilah kepada Tuhanmu,” artinya: “kembalilah ke tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu. Maka kembalinya Beliau adalah dari tempat Beliau berjumpa dengan Nabi Musa alaihissalam ke tempat beliau bermunajat dan bermohon kepada Tuhannya. Tempat memohon tidak berarti bahwa yang diminta ada di tempat itu atau menempati tempat itu karena Allah Subhanahu wa ta’ala suci dari arah dan tempat. Maka kembalinya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya tempat itu dibandingkan dengan yang lain. Sebagaimana lembah Thursina adalah tempat permohonan Nabi Musa alaihissalam di bumi.
Walaupun beliau pada malam ketika mi’rajkan sampai menempati suatu tempat di mana Beliau mendengar gerak qalam, tetapi Beliau shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus alaihissalam ketika ditelan oleh ikan dan dibawa keliling laut hingga samapai ke dasarnya adalah sama dalam kedekatan dengan Allah ta’ala. Kaerena Allah Azza wa Jalla suci dari arah, suci dari tempat, dan suci dari menempati ruang.
Al Qurthubi di dalam kitab at-Tadzkirah, mengutip bahwa Al Qadhi Abu Bakar bin al-’Arabi al Maliki mengatakan, ‘Telah mengabarkan kepadaku banyak dari sahabat-sahabat kami dari Imam al-Haramain Abu al Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf al Juwaini bahwa ia ditanya, “Apakah Allah berada di suatu arah?” Ia menjawab, “Tidak, Dia Mahasuci dari hal itu” Ia ditanya lagi, “Apa yang ditunjukkan oelh hadits ini?” Ia menjawab, “Sesungguhnya Yunus bin Matta alaihissalam menghempaskan dirinya kedalam lautan lalu ia ditelan oleh ikan dan menjadi berada di dasar laut dalam kegelapan yang tiga. Dan ia menyeru, “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim,” sebagaimana Allah ta’ala memberitakan tentang dia. Dan ketika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam duduk di atas rak-rak yang hijau dan naik hingga sampai ke suatu tempat di mana Beliau dapat mendengar gerak Qalam dan bermunajat kepada Tuhannya lalu Tuhan mewahyukan apa yang Ia wahyukan kepadanya, tidaklah Beliau shallallahu alaihi wasallam lebih dekat kepada Allah dibandingkan Nabi Yunus alaihissalam yang berada dikegelapan lautan. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala dekat dengan para hambaNya, Ia mendengar doa mereka, dan tak ada yang tersembunyi atasNya, keadaan mereka bagaimanapun mereka bertindak, tanpa ada jarak antara Dia dengan mereka. Jadi, Ia mendengar dan melihat merangkaknya semut hitam di atas batu yang hitam pada malam yang gelap di bumi yang paling rendah sebagaimana Ia mendengar dan melihat tasbih para pengemban ‘Arsy di atas langit yang tujuh. Tidak ada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Ia mengetahui segala sesuatu dan dapat membilang segala sesuatu.

Dana dan Tadalla
Di dalam hadits tentang Isra’ dan Mi’raj dari riwayat Syuraik disebutkan tentang “dana dan tadalla” (dekat dan menjadi lebih dekat lagi) serta penisbahan kepada Allah. Yang wajib diyakini oeleh seorang muslim di dalam hal ini adalah sebagaimana yang diwajibkan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah dalam hal seperti ini dalam hal ayat-ayat dan hadits-hadits tentang sifat Allah, seperti firman Allah ta’ala yang artinya, “Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan malaikat (pada hari kiamat) dalam naungan awan” dan Sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam dalam hadits qudsi, “Dan barangsiapa yang mendekatiKu sejengkal maka Aku mendekatinya sehasta”. Yaitu ia meyakininya dan menerimanya serta memperlakukannya sebagaimana yang diperlakukan oleh ulama salaf dan meninggalkan pertanyaan-pertanyaan tentang hal itu sebagaimana ia mesti meninggalkan untuk terlalu mendalaminya dan tidak menta’wilkannya serta tidak pula meminta penjelasan atasnya. Jadi, ia berhenti pada tempat mereka berhenti, tanpa bertanya bagaimana dan mengapa.
Dan ketahuilah bahwa setiap yang etrlintas di benaknya adalah sesuatu yang mebinasakan, dan Allah tidak demikian (tidak seperti yang terlintas di benak).
Hanya saja sebagian ulama telah mentakwilkan kedekatan itu dengan diperolehnya manfaat-manfaat yang besar, dimuliakan, dipilih, dan diplih untuk menolak perasaan tidak senang yang timbul karena tidak adanya suara. Dan pemuliaan itu adalah dengan dialog dan pemberian yang mulia.
Inilah makna-makna yang agung dan mulia yang dapat dipahami dari ucapan junjungan kita Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam hadits qudsi, yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam, dimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, “Aku menurut sangkaan hambaKu kepadaKu dan Aku bersamanya apabila ia menyebutKu. Maka apabila ia mengingatKu di dalam dirinya, maka Aku menyebutnya di dalam diriKu, Dan apabila ia mengingatKu di dalam suatu kelompok maka Aku menyebutnya dalam kelompok yang lebih baik dibanding mereka. Dan jika ia mendekatiKu sejengkal niscaya Aku mendekatinya sehasta dan jika ia mendekatiKu sehasta maka Aku mendekatinya sedepa. Dan jika ia mendatangiKu dengan berjalan maka Aku mendekatinya dengan berlari (HR alBukhari di dalam kitab at Tauhid bab wa yuhadzdzirukumullah nafsah dan diriwayatkan oleh Muslim pada awal kitab adz dzikir wa ad du’a)
UcapanNya, “Dan barangsiapa yang mendekatiKu sejengkal maka Aku mendekatnya sehasta dan barangsiapa mendatangiKu dengan berjalan maka Aku mendekatinya dengan berlari” artinya adalah “Barangsiapa yang mendekatiKu dengan menaatiKu maka Aku mendahuluinya dengan memberi balasannya”, jadi itu adalah kedekatan dengan mengabulkan dan menerima ketaatannya, memberikan kebajikan dan menyegerakan apa yang diinginkan
Walaupun demikian agungnya makna-makna ini hanya saja mesti dipahami bahwa para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengannya bukanlah penisbahan atau penentuan tempat atau jarak yang terbayang pada benak manusia yang tak mampu memahami hakiakt dari lafaz-lafaz yang berkaitan dengan Dzat dan Sifat Allah ini karena Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana yang dikatakan olehNya, “tidak ada sesuatupun yang serupad dengan Dia, dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS Asy Syuura [42]:11 )
Imam at Tirmidzi telah mengutip penafsiran hadits ini setelah ia meriwayatkannya dari al A’masy, salah seorang periwayat hadits ini, dan seorang imam yang terkenal di dalam qiraat dan periwayatan hadits. Al A’masy wafat pada tahun140-an Hijriah.
At Tirmidzi mengatakan, “Dan diriwayatkan dari Al A’masy dalam penafsiran hadits ini bahwa arti, “Barangsiapa yang mendekatiKu sejengkal maka Aku menedekatinya sehasta” adalah dengan memberikan ampunan dan rahmt. Demikanpula yang ditafsirkan oleh sebagian ahli ilmu mengenai hadits ini di mana mereka mengatakan bahwa artinya adalah Apabila seorang hamba mendekatiKu dengan menaatiKu dan dengan melakukan yang Aku telah perintahkan, maka ampunan Ku dan rahmatKu akan segera mendekatinya. Penafsiran yang seperti ini adalah ucapan Qatadah setelah ia meriwayatkan hadits tersebut. Jadi Allagh lebih cepat memberikan ampunan sebagaimana disebutkan dalam al Musnad (Musnad Ahmad 3/138) Qatadah wafat sekitar tiga puluh tahu sebelum al A’masy
Imam an Nawawi mengatakan, Hadits ini termasuk hadits-hadits tentang sifat Allah dan mustahil bahwa yang dimaksudkan adalah zahirnya. Arti hadits tersebut adalah, “Barangsiapa yang mendekati Ku dengan ketaatan kepada Ku maka Aku mendekatinya dengan rahmat Ku, taufik Ku dan pertolongan Ku. Seandainya ia menambah kedekatannya, maka Akupun menambah kedekatan Ku. Maka jika mendatangiKu dengan berjalan dan segera menaatiKu maka Aku akan mendatinya dengan berlari, yakni Aku limpahkan atasnya rahmatKu dan Aku mendahuluinya dengan memberikanNya. Yang dimaksud, pelipatgandaan ganjarannya adalah menurut kedekatannya (Syarh Shahih Muslim karya an Nawawi 3/17)
Ibn al Atsir di dalam menentukan makna harwalah dan pengertian umum dari kalimat itu mengatakan harwalah adalah antara berjalan dan berlari dan ia merupakan kiasan tentang cepatnya pengabulan Allah dan penerimaannya akan taubat hambaNya serta kelembutan dan rahmatNya (Shihah al HAdits al Qudsiyah dengan syarah dan ta’liq karya Muhammad ‘Awamah: 253-257, dan an Nihayah karya Ibn al Atsir 5/261)
Kesimpulannya, walaupun para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan sifat-sifat kedekatan ini diantara pentakwilan yang dapat diterima atau tidak mentakwilkannya, tetapi mereka sepakat bahwa yang dimaksud bukanlah penisbahan atau penentuan tempat atau jarak yang terbayang dalam benak manusia. Melainkan yang dimaksud adalah penetapan apa yang dicapai oleh Nabi kita di malam itu berupa perjumpaan, dialog dan munajat kepadaNya, di mana di dalamnya terdapat bukti terbesar atas kedudukannya yang tinggi, martabatnya yang agung, dan derajatnya yang mulia disisi Tuhannya. Juga di dalamnya terdapat bukti terbesar atas keagungan anugerah Allah, keluasan rahmatNya, dan pertolonganNya terhadap hamba-hambaNya yang khusus yang didekatkan kepadaNya, yaitu orang-orang yang tulus, ikhlas dan benar dalam keimanannya, dimana yang paling utama di antara mereka adalah Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, sang pemimpin umat.
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar