Tulisan kali ini merupakan kelanjutan tulisan sebelumnya tentang kesombongan
Nasehat ulama sufi, Syaikh Ibnu Athoillah,
“Jangan beban berat akan besarnya dosa-dosa yang telah anda lakukan, menjadikan penghalang bagi anda untuk bersangka baik kepada Allah.
Sesungguhnya apabila orang yang mengenal Tuhannya, tentu ia akan memandang kecil dosa-dosa bila dibandingkan dengan sifat-sifat Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Pengampun.
Tidak ada dosa kecil, apabila Allah menghadapi anda dengan keadilan-Nya, dan tidak ada dosa besar, apabila Allah menghadapi anda dengan karunia dan kemurahan-Nya”
Besarnya dosa bagi orang melakukan dosa dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu:
Pertama:
Hendaklah seorang hamba memandang dosa yang dilakukannya itu sebagai dosa besar, sehingga mendorongnya untuk segera bertobat, kembali sadar, lalu bertobat dengan tobat yang sungguh-sunguh, dengan niat tidak akan kembali melakukan dosa-dosa yang pernah dikerjakannya, dan berharap rahmat Allah terus-menerus, agar tidak tidak tergoda dan tergilincir untuk kedua kalinya ke lembah dosa. (itulah yang disebut “taubatan nasuha”).
Memandang besarnya dosa yang demikian ini adalah baik dan terpuji, dan merupakan tanda-tanda keimanannya.
Sahabat Abdullah Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya orang mukmin yang merasa dosa-dosanya seperti setinggi gunung, dia kuatir kalau-kalau dosa yang besar dan tinggi itu akan jatuh dan menimpa dirinya (seperti gunung yang bisa roboh menimpa manusia di bawahnya). Sebaliknya, orang yang durhaka / pendosa, menganggap remeh dosa dan kesalahan yang pernah diperbuatnya, laksana lalat yang hinggap di ujung hidungnya, yang begitu mudah ia menghalaunya”
Seorang mukmin yang merasa dosa-dosanya seperti setinggi gunung bukanlah seorang pendosa! Namun jika orang itu mengulang atau menganggap remeh dosanya maka dia menjadi durhaka / pendosa.
Kedua:
Jika pandangan akan besarnya dosa itu, akan menjatuhkannya pada putus asa dari rahmat Allah dan sikap buruk sangka (su-uzhan) kepada Allah, maka pandangan akan besarnya dosa semacam ini, adalah tercela dan mengotori iman.
Sikap yang demikian itu, tidaklah baik dan menunjukkan akan kebodohannya terhadap sifat Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Pemurah lagi Maha menerima tobat.
Nabi Saw bersabda:
“Demi dzat yang menguasai diriku, seandainya anda sekalian tidak pernah melakukan dosa, tentu Allah melenyapkan anda, kemudian mendatangkan kaum (menggantikan anda) yang berbuat dosa, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Allah mengampuninya”
Seyognya seorang hamba tidak memandang berlebihan besar dosanya, kalau pandangan akan kebesaran dosanya itu membuatnya putus asa dari rahmat Allah dan berburuk sangka kepada Nya. Tetapi hendaklah hal-hali itu, sebagai pendorong baginya untuk segera bertobat, dan beri’tikad untuk tidak akan mengulanginya lagi.
Apabila seorang hamba merasa besar sekali dosanya terhadap Allah, setiap saat ada saja dosa yang dikerjakannya walaupun dosa-dosa yang kecil, maka perasaan seperti ini akan memperburukkan dirinya sendiri.
Sesungguhnya rahmat dan kasih saying Allah itu lebih banyak dan lebih luas dari siksa-Nya. Sifat adil dan bijak Allah itu meliputi langit dan bumi dengan segala isinya.
Allah Swt, mengetahui tentang manusia yang ada di muka bumi ini, kemampuan ilmu dan kekuatan imannya. Sehingga tuangan rahmat dan kasih-Nya bagi yang ada di permukaan bumi ini, sangat sempurna dan sangat bijaksana. Sifat Allah Ta’ala yang pemaaf dan pengampun adalah bagian anugerah Alla Swt, kepada manusia dan semua makhluk yang ada di alam semesta.
Manusia tidak perlu berlebih-lebihan merasa dosa dan kesalahannya terhadap Allah Swt, setelah mengetahui/mengenal sifat Allah dan besarnya rahmat dan anugerah Allah kepada seisi alam ini. Tugas seorang hamba terhadap Allah Swt, karena dosa-dosa dan kesalahan yang diperbuatnya adalah kembali sadar, lalu bertobat seperti yang diuraikan sebelumnya.
Hubungan dosa dan ujub
Disebutkan dalam sebuah hadits, bahwa Nabi saw, bersabda:
“Seandainya dosa itu tidak lebih baik bagi orang mukmin daripada ujub (merasa sombong dan membangga-banggakan amal kebaikan), tentu Allah tidak akan membiarkan orang-orang mukmin berbuat dosa selama-lamanya.”
Melalui hadits tersebut Nabi Saw, mengingatkan kepada kita bahwa adanyadosa itu sesunggunnya sebagai penghalang yang dapat mencegah timbulnya ujub !
Dimana ujub itu merupakan hijab yang paling tebal antara seorang hamba dengan Tuhannya.
Karena orang yang bersikap ujub. ia melihat pada kemampuan dan kekuasaan dirinya dalam ketaatan dan ibadahnya, tidak melihat pada kekuasaan dan keagungan Tuhan, Sikap semacam ini, sangat berbahaya, tidak ada yang lebih bahaya daripada ini.!
Sebaliknya, dosa menyebabkan seorang menjadi takut dan cemas lalu ia berlari mendekat kepada Allah karena kesalahan dan dosanya itu.
Sikap ujub membuat sesorang (disadari atau tidak disadari) berpaling dari Allah (tidak menuju kepada Allah).
Sementara dosa, membuat seseorang menghadap dan mendekat kepadaNya. Sifat ujub, menyebabkan seseorang merasa tidak butuh dan mengandalkan kemampuan dirinya.
Sementara dosa menyebabkan seseorang merasa terhina, merendahkan diri di hadapan Ilahi. Sifat seorang hamba yang merasa terhina dan butuh kepada Allah swt, merupakan sikap seorang mukmin yang paling disukai Allah swt, sebaik-baik sikap yang membuatnya sampai kepada Allah, dan Allah pun berkenan menerimanya.
Yahya bin Mu’adz berkata: “Jika Allah menghadapi hamba-hambaNya dengan keadilanNya, maka tidak tersisa satu kebaikan pun bagi mereka. Tetapi jika mereka memperoleh kemurahan anugerah-Nya, maka tidak akan tersisa satu keburukan mereka.”
Diantara do’a Yahya bin Mu’adz ialah: “Jika Engkau berkenan mencintaiku, tentu Engkau akan mengampuni kesalahan-kesalahanku. Tetapi jika Engkau murka kepadaku, tentu Engkau tidak akan menerima kebaikan-kebaikanku”.
Pahamilah, bahwa sombong, riya, ujub dan sejenisnya akan membuat Allah murka, sehingga tidak akan menerima amal, ibadah dan kebaikan-kebaikan kita.
Kita memohon perlindungan Allah dari sifat-sifat tercela itu.
Wassalam
Zon di Jonggol
Sumber tulisan dari beberapa terjemahan “Al-Hikam”, Syaikh Ibnu Athoillah, antara lain,
“Menyelam ke samudera ma’rifat & hakekat”, Penerbit “Amelia”, Surabaya
“Mutu Manikam dari kitab Al Hikam”, Penerbit “Mutiara Ilmu”, Surabaya
=====
13 Juni 2010 oleh mutiarazuhud
Tidak ada komentar:
Posting Komentar