Jalan yang lurus

“Jalan yang lurus“, “(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah,[1]: 7)
Benar bahwa yang Haq adalah tunggal , kebenaran hanyalah dari Allah yang Ahad.
Namun “jalan yang lurus” diatasnya terdiri dari beberapa jalur/alur/track, pahamilah dari firman Allah dalam (QS Al Fatihah, [1]:7). Dalam firman tersebut Allah ta’ala menyatakan “Jalan orang-orang” , bersifat jamak atau bersifat plural (beragam). Keberagaman inilah yang disebut dengan cabang (furuiyah).
Semua hamba Allah akan berada pada “jalan yang lurus” (walaupun berbeda jalur) minimal adalah yang telah bersyahadat.
Inilah maksud hadits berikut
“Tak ada satu orang pun yang bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah dan Muhammad rasul Allah yang ucapan itu betul-betul keluar dari kalbunya yang suci kecuali Allah mengharamkan orang tersebut masuk neraka“. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Sedangkan mereka yang tidak bersyahadat, salah satunya tidak mengakui Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan Allah atau bahkan sebagian lagi ada yang mengakui ada tuhan yang lain termasuk mereka yang menuhankan hawa nafsu atau orang yang tidak mengakui adanya Allah adalah mereka yang TIDAK berada pada “jalan yang lurus” yakni “(jalan) mereka yang dimurkai dan  jalan mereka yang sesat”
Pahamlah kita bagaimana kesalahpahaman tentang paham pluralisme, selengkapnya silahkan baca tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/11/04/2010/10/27/orang-orang-beriman/ Tulisan tersebut dapat dipergunakan untuk “menjawab” paham pluralisme.
Semoga bisa dipahami bahwa memang kehendak Allah “di atas” jalan yang lurus ada banyak cabang (furuiyah)atau ada beberapa madzhab, manhaj, thareqat, kelompok, dan ada beberapa metode pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Hadits.
Semua adalah jalan menuju kepada Allah ta’ala dengan syarat minimal adalah bersyahadat.
Semua hamba Allah yang telah bersyahadat baik yang hanya mengenal tentang syariat saja (rukun Iman dan rukun Islam) maupun ditambah menjalankan Tasawuf (ihsan) adalah mereka yang berada pada jalan yang lurus menuju kepada Allah.
Pertanyaannya adalah seberapa cepat sampai kepada Allah, seberapa cepat dapat seolah-olah melihat Allah atau melihat Allah dengan hati atau disebut Ihsan.
Selambat-lambatnya seorang muslim mendapatkan karunia Allah untuk dapat melihat Allah adalah ketika di akhirat nanti.
Selengkapnya silahkan baca tulisan pada
Jadi apa yang diperdebatkan, apa yang didiskusikan secara sengit di beberapa milis islam, forum diskusi Islam, blog Islami, diskusi pada jejaring sosial sebagian besar adalah memperbincangkan jalur/alur/cabang (furuiyah) sampai-sampai tidak malu dengan Allah yang dekat , apalagi seolah-olah melihat Allah.
Sebagai contoh orang yang muslim yang keliru berziarah kubur , namun salah paham menyembah kuburan atau menyembah orang-orang yang shaleh”. Benarlah hal itu sebuah perbuatan kekufuran namun belum pasti orang muslim itu telah kafir. Bisa jadi dia belum tahu, apa yang telah diperbuat. Kemudian setelah berziarah kubur dia kembali bersyahadat (minimal pada saat sholat). Sehingga dia kembali ke jalan yang lurus setelah sesaat waktu mereka berpaling dari jalan yang lurus. Vonis kafir kepada seorang muslim yang harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan melakukan proses konfirmasi terhadap kekufuran yang mereka lakukan. Bisa jadi pada saat konfirmasi apa yang telah mereka lakukan mereka akan tersadar atau sampai kepadanya pengetahuan tersebut. Jika proses konfirmasi atau penyampaian tersebut telah dilakukan dan dia tetap melakukan kekufuran  maka resmilah dia “membatalkan” syahadatnya.
Vonis kufur tidak boleh dijatuhkan kecuali oleh orang yang mengetahui seluk-beluk keluar masuknya seseorang dalam lingkaran kufur dan batasan-batasan yang memisahkan antara kufur dan iman dalam hukum syari’at Islam.
Tidak diperkenankan bagi siapapun memasuki wilayah ini dan menjatuhkan vonis kufur berdasarkan prasangka dan dugaan tanpa kehati-hatian, kepastian dan informasi akurat. Jika vonis kufur dilakukan dengan sembarangan maka akan kacau dan mengakibatkan penduduk muslim yang berada di dunia ini hanya tinggal segelintir.
Demikian pula, tidak diperbolehkan menjatuhkan vonis kufur terhadap tindakan-tindakan maksiat sepanjang keimanan dan pengakuan terhadap syahadatain tetap terpelihara. Dalam sebuah hadits dari Anas RA, Rasulullah SAW bersabda :
ثلاث من أصل الإيمان : الكف عمن قال : لا إله إلا الله لا نكفره بذنب ولا نخرجه عن الإسلام بالعمل , والجهاد ماض منذ بعثني الله إلى أن يقاتل آخر أمتي الدجال لا يبطله جور جائر
ولا عدل عادل والأقدار.( أخرجه أبو داود )
“Tiga hal merupakan pokok iman ; menahan diri dari orang yang menyatakan Tiada Tuhan kecuali Allah. Tidak memvonis kafir akibat dosa dan tidak mengeluarkannya dari agama Islam akibat perbuatan dosa ; Jihad berlangsung terus semenjak Allah mengutusku sampai akhir ummatku memerangi Dajjal. Jihad tidak bisa dihapus oleh kelaliman orang yang lalim dan keadilan orang yang adil ; dan meyakini kebenaran takdir”.
Imam Al-Haramain pernah berkata, “ Jika ditanyakan kepadaku : Tolong jelaskan dengan detail ungkapan-ungkapan yang menyebabkan kufur dan tidak”. Maka saya akan menjawab,” Pertanyaan ini adalah harapan yang bukan pada tempatnya. Karena penjelasan secara detail persoalan ini membutuhkan argumentasi mendalam dan proses rumit yang digali dari dasar-dasar ilmu Tauhid. Siapapun yang tidak dikarunia puncak-puncak hakikat maka ia akan gagal meraih bukti-bukti kuat menyangkut dalil-dalil pengkafiran”.
Vonis kafir hanya dikenakan pada orang-perorang yang telah jelas seluk-beluk keluar masuknya seseorang dalam lingkaran kufur
Dapat dikenakan kepada pada suatu kaum, setelah jelas apa yang diyakini mereka (pemahaman pokok/ keyakinan pokok/i’tiqad) adalah sebuah kekufuran seperti kaum Musyabbihah atau Mujassimah.
Terjadi kesalahpahaman yang telah dilakukan banyak ulama pada saat ini, mereka mensesatkan / mengkafirkan pada suatu kaum yang telah bersyahadat dan tidak pula mempunyai i’tiqad dalam kekufuran.
Sebagai contoh apa yang dilakukan oleh Syaikh Al Albani (semoga beliau dirahmati Allah).
Golongan atau kelompok atau perkumpulan atau jamaah apa saja dari perkumpulan Islamiyah, selama mereka semua tidak berdiri di atas Kitabullah (Al Qur’an) dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam serta di atas manhaj (jalan/cara) Salafus Shalih, maka dia (golongan itu) berada dalam kesesatan yang nyata!
Tidak diragukan lagi bahwasanya golongan (hizb) apa saja yang tidak berdiri di atas tiga dasar ini (Al Qur’an, Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan Manhaj Shalafus Shalih) maka akan berakibat atau membawa kerugian pada akhirnya walaupun mereka itu (dalam dakwahnya) ikhlas.
Berdasarkan pengetahuan saya, setiap golongan atau kelompok yang ada di muka bumi Islam ini, saya berpendapat sesungguhnya mereka semua tidaklah berdakwah pada dasar yang ketiga, sementara dasar yang ketiga ini adalah pondasi yang kokoh. Mereka hanya menyeru kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam saja, di sisi lain mereka tidak menyeru (berdakwah) pada manhaj Salafus Shalih kecuali hanya satu jamaah saja.
Beliau mengatakan sesatlah golongan atau kelompok yang hanya bersandar pada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah saja tidak berdiri di atas dasar yang ketiga yakni manhaj Salafus Sholeh
Bagaimanakah mungkin dikatakan sesat bagi mereka-mereka yang hanya bersandar pada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saja ?
Hal ini mengingatkan saya pada perbincangan antara Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dengan saudaranya Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahab, dalam soal kafir-mengkafirkan ini.
Sulaiman bertanya kepada adiknya: “…Berapa, rukun Islam”
Muhammad menjawab: “lima”.
Sulaiman: Tetapi kamu menjadikan 6!
Muhammad: Apa, ?
Sulaiman: Kamu memfatwakan bahwa siapa, yang mengikutimu adalah
mu’min dan yang tidak sesuai dengan fatwamu adalah kafir.
Muhammad : Terdiam dan marah.
Sesudah itu ia berusaha menangkap kakaknya dan akan membunuhnya, tetapi Sulaiman dapat lolos ke Makkah dan setibanya di Makkah ia mengarang buku “As Shawa’iqul Ilahiyah firraddi ‘alal Wahabiyah” (Petir yang membakar untuk menolak paham Wahabi)
Begitulah kesalah-pahaman saudara-saudara kita kaum Salafi/Wahabi yang menisbatkan pada pemahaman Salafush Sholeh, namun tidak ada kejelasan pemahaman siapa dari Salafush Sholeh yang mereka ikuti “perjalanan” nya karena Salafush Sholeh adalah terdiri dari banyak orang. Dahulu kala pemahaman para Sahabat selalu ditengahi oleh Rasulullah begitu pula selanjutnya selalu ditengahi oleh orang-orang Sholeh sehingga mereka tersebut dikatakan para Salafush Sholeh.
Contoh penengahan pemahaman para Sahabat di jaman Rasulullah bisa di baca pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/11/04/akhlak-rasulullah/
Juga termasuk kesalahpahaman akan pengakuan mereka bahwa pemahaman atau manhaj seperti mereka sajalah yang benar , secara tidak disadari mengingkari kehendak Allah.
Semoga bisa dipahami oleh para pembaca kenapa kami kerap menyampaikan tentang kesalahpahaman saudara-saudara kita kaum Salafi / Wahabi, semua itu bukanlah atas dasar kebencian , semata-mata kami melakukan dalam rangka saling mengingatkan terutama pada diri saya sendiri.
Semoga bisa dipahami mengapa kami tidak mensesatkan/mengkafirkan saudara-saudara kita kaum Salafi / Wahabi , salah satunya karena mereka terus-menerus bersyahadat.
Begitu juga terhadap saudara-saudara kita kaum Syiah , tidaklah bisa dikatakan sesat karena mereka bersyahadat sama seperti kita. Kalaupun ada kesalahpahaman yang mereka lakukan dalam “perjalanan” menuju Allah , kita berprasangka baik kepada mereka bahwa mereka seolah-olah berputar-putar di atas “jalan yang lurus” atau terhalangi/terdindingi oleh sesuatu.
Sungguh tujuan hidup kita adalah “perjalanan” menuju kepada Allah. Bukti telah sampai adalah menjadi muslim yang sholeh atau muslim yang Ihsan, muslim yang dapat seolah-olah melihat Allah
Terhalang melihat Allah , silahkan baca tulisan pada
Semoga kita semua bisa menjadi wali-wali Allah, Shiddiqin, muslim yang ihsan, muslim yang sholeh. Sehingga kita bisa termasuk yang disholawatkan oleh seluruh muslim sampai akhir zaman.
Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin,
“Semoga keselamatan bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh”.
Sesuai janji Allah ta’ala maka setiap muslim yang sholeh (muhsin) atau orang-orang beriman dan beramal sholeh maka akan masuk surga tanpa di hisab,
Janji Allah swt dalam firmanNya yang artinya.
“….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.” (QS Al Mu’min [40]:40 )
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. (QS An Nisaa’ [4]:124
Marilah kita berlomba-lomba menuju kepada Allah, berlarilah kepada Allah , “Fafirruu Ilallah” berlomba-loba untuk dapat seolah melihat Allah atau melihat Allah dengan hati.
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”.
Wassalam
Zon di Jonggol

Satu Tanggapan
Yulia
Setelah bersandar pada Al Quran & Sunnah, mungkin ada baiknya dijabarkan pula bahwa Allah menilai manusia dari iman & takwa, (kembali ke penilaian Allah, bukan penilaian manusia yang selalu mencari pembenaran dari setiap dalih yang dikemukakan?) bukankah tiap manusia iman & takwanya beda, berapa % dari diri kita mampu menerima Al Quran & Sunnah? berapa % mampu mengamalkannya? berapa % kwalitas keimanan & takwa kita? bla bla bla
====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar