Mukmin Musyrik

Kita tidak dapat mengingkari adanya perbedaan pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Hadits walaupun kita mengakui bahwa kebenaran itu berasal dari Allah yang Esa.
Berikut tulisan menyambung tulisan sebelumnya
Tulisan berikut ini menjelaskan bahwa memang kenyataanlah adanya perbedaan pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Hadits sehingga kita tidak boleh mengatakan bahwa seorang muslim atau kaum muslim lain itu sesat jika tidak mengikuti seperti pemahaman kita.
Masih ingatkah peristiwa buku kontroversial “Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat dan Dzikir Syirik” karya H Mahrus Ali ?
Kemudian dijawab dengan buku yang diterbitkan oleh Lembaga Bahtsul Matsail LBM-NU Jember, “Membongkar Kebohongan Buku Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik”
Kemudian dilaksanakan acara debat terbuka terkait buku kontroversial itu di ruang Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur
Gus A’ab, sapaan akrab KH Abdullah Syamsul Arifin dalam debat terbuka itu menyatakan, buku karya Mahrus Ali penuh dengan tuduhan yang tidak berdasar. Namun yang paling menyakitkan adalah tudingan kafir dan syirik kepada orang yang bertawassul dan beristigotsah.
Sementara itu Muammal Hamidy Lc –dalam pengantarnya—juga menuduh kalangan Nahdliyyin yang bertawassul (berdoa dengan perantaraan Nabi Muhamamad dan orang-orang shalih) sebagai “mukmin-musyrik”. Istilah “mukmin musyrik”, menurut beliau merupakan pemahaman pribadinya berdasarkan kenyataannya banyak orang mukmin yang masih percaya tahayyul seperti Nyai Roro Kidul dan semacamnya.
Gus A’ab mengatakan, istilah mukmin (beriman) dan muysrik (menyekutukan Tuhan), dua term yang berbeda, sehinga tidak bisa disandingkan. “Lagi pula, apa hubungannya istigotsah dan amaliyah yang dilakukan warga Nahdliyyin dengan Nyai Roro Kidul,” ujarnya.
Selengkapnya
Mukmin musyrik menerangkan adanya pemahaman bahwa ada mukmin yang mengimani tauhid Rububiyyah namun belum bertauhid Uluhiyah. Pemahaman seperti itu merupakan pemahaman yang timbul dari pembagian Tauhid ke dalam tiga macam.
Kalangan kaum Wahabi/Salafi merupakan salah satu penggiat utama pembagian Tauhid ke dalam tiga macam (merekapun sepakat bahwa pembagian ini adalah “hasil karya” ulama/syaikh mereka dan bukan dari para Salafush Sholeh) yakni, Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyyah dan Tauhid al-Asma’ wa al-Shifat
Berdasarkan pemahaman kaum  Salafi Wahhabi, mereka  beranggapan bahwa bertawassul dan beristigotsah  adalah  perbuatan yang menjadikan termasuk orang musyrik.
Penilaian kaum Salafi Wahhabi, dengan bertawassul dan beristighosah,  kaum Nahdhiyyin tauhidnya baru sebatas tauhid Rububiyyah (mengakui adanya Tuhan sebagai pencipta) namun beribadah tidak hanya kepada Allah atau belum bertauhid Uluhiyah atau dengan kata lain menyekutukan Allah (syirik) sehingga menjadi termasuk orang musyrik.
Sedangkan dari pemahaman kaum Salafi Wahabi tentang sepuluh hal-hal yang membatalkan keislaman dimana salah satu pointnya adalah:
barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, atau ragu akan kekafiran mereka, atau membenarkan paham (madzhab) mereka, maka dengan demikian dia telah kafir
Berdasarkan pemahaman Salafi Wahabi maka bagi muslim lainya yang tidak menkafirkan orang-orang (yang dengan pemahaman mereka dianggap) musyrik  atau ragu  akan kekafiran mereka atau membenarkan paham (madzhab) mereka, maka dengan demikian dia telah kafir juga.
Inilah yang dinamakan “pengkafiran beruntun”,  kaum Salafi Wahabi menganggap beberapa amaliyah kaum Nahdiyyin menjadikan mereka orang-orang musyrik dan bagi muslim yang lain tidak mengakui kemusyrikan tersebut maka  dengan demikian dia telah kafir juga.
Tampaknya perlu kita mintakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengkaji ulang tentang pemahaman “Tauhid jadi tiga” karena adanya kecenderungan “memusyrikkan” kaum muslimin dengan pemahaman tauhid seperti itu.
Contoh keanehan “tauhid jadi tiga” bagi pemahaman kami bahwa, mereka memahami bahwa orang-orang non muslim bertauhid Rububiyyah bahwa mereka mengaku Tuhan sebagai pencipta, pemilik dan pengatur langit, bumi dan seisinya
Sedangkan kita tahu bahwa Tauhid yang merupakan ajaran seluruh Nabi semenjak Nabi Adam as sampai dengan Rasulullah artinya mengesakan Allah.
“Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. (QS Al Ikhlas 112: 1 )
Jadi non muslim walaupun mengakui Tuhan sebagai pencipta tidaklah dapat dikatakan bertauhid karena mereka tidak mengesakan Allah.
Bagi non muslim itu, mereka tidak bertauhid atau mereka tidak mengesakan Allah sehingga mereka tidak termasuk orang-orang yang beriman.
Kaum Wahabi/Salafi dalam langkah yang mereka katakan sebagai “pemurnian Tauhid” sering mengungkapkan bahwa “separuh masa kenabian Rasulullah untuk mengajarkan tauhid” dan pemahaman tauhid mereka menisbatkan kepada Salafush Sholeh..
Sangat disayangkan dengan jargon “pemurnian tauhid”, mereka membuat istilah khusus untuk umat muslim lainnya seperti umat Islam yang senang berziarah kubur para wali dengan sebutan “Quburiyyun”, bahkan lebih tega lagi ketika mereka menyindir umat Islam yang senang memuji dan menyanjung Rasulullah Saw terasuk maulid Nabi. dengan sebutan “Abdun-Nabi” (hamba Nabi) yang mengesankan bahwa para penyanjung Rasulullah Saw. benar-benar telah menyembah beliau alias melakukan syirik (lihat Tafsir Seper Sepuluh Dari Al-Qur’an Al-Karim, hal. 95, buku ajaran Wahabi yang dibagikan Cuma-Cuma).
Julukan atau sebutan yang buruk kepada umat muslim lainnya atau kepada sesama saudara muslim, bukanlah cerminan akhlak yang baik atau muslim yang sholeh.
Hal ini yang kami khawatirkan dari kaum mereka adalah mereka menisbatkan dirinya kepada Salafush Sholeh namun mereka menyibukkan “teori”/ilmu Tauhid (alat) sehingga mereka tanpa disadari lupa bahwa hasil/output/tujuan dari ketauhidan itu sendiri.
Mereka sibuk mempelajari segala macam ketaatan para Salafush Sholeh namun secara tidak disadari mereka lupa berupaya seperti Salafush Sholeh yakni mencapai muslim yang sholeh.
Hasil/output dari ketauhidan itu sendiri adalah akhlak, yakni akhlak/adab kita sebagai hamba Allah dihadapanNya dan akhlak kita dengan sesama ciptaanNya termasuk akhlak kepada sesama manusia apalagi akhlak kepada sesama muslim yang telah bersyahadat.
Rasulullah mengatakan “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya,
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswah hasanah (suri tauladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (Rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S Al-Ahzab : 21).
Contoh aktual/terbaru yang membuktikan bahwa memang adanya perbedaan pemahaman kita terhadap Al-Qur’an dan Hadits, silahkan baca tulisan pada
Dalam tulisan tersebut kita dapat mengetahui telah terbit “buku pintar berdebat dengan Wahhabi” oleh Bina Aswaja dan Lembaga Bahtsul Matsail (LBM) NU Jember.
Buku inilah yang membuktikan bahwa realitanya memang ada perbedaan pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Hadits dan kita tidak bisa mengatakan Wahhabi yang sesat atau NU yang sesat atau kita tidak bisa mengatakan bahwa hanya pemahaman kami yang benar dan pemahaman lain adalah sesat.  Sebagaimana yang diperlihatkan ulama-ulama terdahulu walaupun terdiri dari empat madzhab namun mereka tidak pernah mensesatkan antar madzhab.
Hal yang terpenting adalah tidak mensesatkan sesama muslim yang telah bersyahadat secara perorangan atau secara sepihak.
Jika ditemukan fakta kesesatan dalam hal bukan furu’iyah seperti masalah i’tiqad maka hal yang dilakukan oleh kita adalah memintakan fatwa kepada MUI Pusat. Umat muslim pada umumnya mempunyai hak untuk meminta fatwa kepada MUI.
Biarkanlah yang berkompeten untuk menetapkan fatwa melakukan pengambilan data/fakta, konfirmasi/tabayyun terhadap apa yang mereka pahami, analisa/musyawarah dan penetapan
Wassalam

15 Tanggapan
pada 10 Januari 2011 pada 1:04 pm | Balasmamo cemani gombong
bang Zon yang namanya perbedaan pasti ada salah satu yang benar dan salah satu yang salah …..orang2 yang awam spt saya kadang bingung menyikapi suatu masalah soalnya dari sumber yang sama Al Quran dan Hadist Rosululloh SAAW …….yang seharusnya kan terpisah antara haq dan bathil …salam
pada 10 Januari 2011 pada 3:55 pm | Balasmutiarazuhud
Perbedaan pada madzhab yang empat, apakah bisa dikatakan hanya satu madzhab yang benar dan 3 madzhab lainnya salah ? Tentu tidak.
Perbedaan seperti inilah yang disebut furu’iyah (cabang) yang mengartikan bahwa mereka semua berhujjah atau berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits atau berada pada jalan yang lurus, namun seberapa baiknya mereka mencapai tujuan.
Kita harus memperhatikan tujuan hidup kita daripada kita sibuk memperbincangkan “kendaraan” kita pada jalan yang lurus sehingga tidak segera mencapai tujuan.
Tujuan kita adalah menjadi muslim yang sholeh sebagaimanapula yang dicapai seperti Salafush Sholeh.
pada 10 Januari 2011 pada 4:57 pm | Balasmamo cemani gombong
yap tengkyu bang Zon ……tambah ilmu ………..salam
Mas MZ,
Artikelnya sangat bagus, Mas. Tapi kalau yg baca orang-orang Wahabi pastilah ini tidak bagus. Itu karena melihat dari sudut pandang yg berbeda. Itu wajar, yg kurang ajar adalah kalau sudah memvonis bid’ah, kafir, musyrik kepada orang Islam. Tingkah polah Wahabi yang sombong itu memang harus dilawan dengan cara apapun yg penting halal, he he he ….
Tentang buku Pintar Debat dengan Wahabi memang perlu untuk membekali ummat Islam agar bisa menjawab kalau ada provokasi tantangan debat dari Wahabi. Sebab di masyarakat secara realitas, memang Wahabi terkadang nekad ngajak debat orang awam. Ini fakta lho mas, ini benar-benar real. Seperti kita tahu di masyrakat Islam Mayoritas khususnya di Indonesia, lulusan aliyah/SMA, bahkan sarjananya sekalipun hanya sedikit sekali yang tertarik mempelajari isu-isu berkaitan masalah-masalah bid’ah dan kemusyrikan yang dituduhkan kepada mereka.
Yah, harapan saya buku tersebut tida membuat kita sibuk berdebat, sebab merintis jalan kebaikan (amal shalih) masih jauh lebih penting. Sebab mengandalkan keimanan saja tanpa amal shalih akan rugi nantinya.
pada 10 Januari 2011 pada 9:56 pm | Balasmutiarazuhud
Kami sangat mendukung penerbitan “Buku pintar berdebat dengan Wahhabi” dan perlu didukung dengan pemasaran seluas-luasnya. Kita harus bergerak cepat untuk menghindari terpecah-belah umat akibat kurangnya informasi bagi umat muslim khususnya di negeri kita. Sebaiknya dijelaskan bahwa Ahlussunnah Wal Jama’ah bujanlah “monopoli” organisasi kemasyarakatan NU semata, namun berlaku bagi seluruh umat muslim yang mengikuti Sunnah Rasulullah. Kitapun sadar bahwa di NU pun ada yang berpemahaman liberalisme dll, walaupun jumlah mereka relatif kecil
Sedangkan kita tahu bahwa “Pemasaran” pemahaman Wahabi/Salafi begitu cepat dan secara internasional bahkan mereka memberikan beasiswa bagi pemuda/pemudi di seluruh dunia untuk mendapatkan pendidikan (indoktrinisasi) dengan pemahaman mereka di universitas-universitas pada wilayah kerajaan Saudi atau yang bekerjasama dengan mereka. Termasuk langkah-langkah untuk pembiayaan “perwakilan” mereka di setiap negara muslim guna melakukan penyebaran pemahaman.
Hal yang terpenting adalah tidak mensesatkan sesama muslim yang telah bersyahadat secara perorangan atau secara sepihak.
Jika ditemukan fakta kesesatan dalam hal bukan furu’iyah seperti masalah i’tiqad maka hal yang dilakukan oleh kita adalah memintakan fatwa kepada MUI Pusat. Umat muslim pada umumnya mempunyai hak untuk meminta fatwa kepada MUI.
Biarkanlah yang berkompeten untuk menetapkan fatwa melakukan pengambilan data/fakta, konfirmasi/tabayyun terhadap apa yang mereka pahami, analisa/musyawarah dan penetapan
Mas, yg ingin saya tanyakan, masing-masing pihak yg bertentangan sekarang ini sering menampilkan riwayat dan tafsir para ulama salaf untuk mendukung pemahaman kelompoknya. Tapi kadang kok seperti sebuah kontradiksi, ulamanya sama tapi pernyataannya berbeda. Misalnya kelompok wahabi mengatakan Imam Syafei menolak tasawuf dgn riwayat begini begitu, tapi ternyata kelompok sufi juga punya riwayat yg menyatakan Imam Syafei mendukung tasawuf. Saya saksikan hampir semua perdebatan sama2 menampilkan pernyataan ulama-ulama salaf, tapi pernyataannya bisa berbeda-beda bahkan jadi bertolak belakang. Lalu kita jadi bertanya riwayat mana yg benar? Bisakah dijelaskan, karena kita takut berselisih dengan pernyataan ulama salaf. Terima kasih, salam.
pada 10 Januari 2011 pada 8:56 pm | Balasmutiarazuhud
Salah satu penyebab terjadi perbedaan pemahaman adalah cara memahami pernyataan ulama-ulama Salaf maupun nash-nash Al-Qur’an dan Hadits.
Kaum Wahabi/Salafi menggunakan metode pemahaman secara dzahir atau tekstual atau sebagaimana yang tertulis (tersurat), sedangkan ulama-ulama muslim pada umumnya menggunakan metode pemahaman yang dalam (hikmah) atau tersirat atau makna dibalik yang tertulis.
Contohnya bagaimana mereka memahami pendapat Imam Syafi’i tentang tasawuf, silahkan baca tulisan pada
Iya mas, mereka memang memahami ayat-ayat, dan hadist dengan tekstual, dan tidak berusaha menggali makna yg sesungguhnya. Sekarang yg jadi senjata utama mereka adalah sanad hadist juga sanad dari riwayat perkataan para ulama salaf. Mereka menyatakan bahwa dalil-dalil mereka shahih sedangkan dalil kelompok lainnya banyak yg dhaif dan palsu. Kalau kita lihat dari pernyataan-pernyataan mereka, sepertinya dalil-dalil mereka yg lebih kuat. Mohon penjelasannya.
pada 11 Januari 2011 pada 5:59 am | Balasmutiarazuhud
Untuk hadits palsu , umat muslim sepakat untuk tidak menggunakan sebagai hujjah/dalil . Namun terjadi perbedaan dalam penerimaan hadits dhaif.
Umat muslim pada umumnya tidak menggunakan hadits dhaif untuk hal-hal bersifat hukum/syariat (syarat sebagai hamba Allah/ketetapan Allah (wajib, larangan dan pengharaman).
Sedangkan untuk amal kebaikan, hadits dhaif digunakan selagi matannya tidak menyalahi Al-Qur’an dan Hadits lainnya karena hakikatnya setiap perkataan baik yang tidak menyalahi Al-Qur’an dan Hadits merupakan sebuah kebenaran. Oleh karenanya sering kita mendengar bahwa kita jangan melihat orangnya namun dengarlah perkataannya.
Imam Syafi’i dibandingkan imam madzhab yang lain dapat mengumpulkan hadits dari berbagai tempat karena beliau diketahui tidak bermukim di satu tempat saja.
Permasalahan lain adalah berapa banyak hadits yang kaum Wahabi/Salafi ketahui atau mereka hanya menggali pada sejumlah hadits tertentu saja yang telah “dikumpulkan” oleh Syaikh Ibnu Taimiyah seperti masalah hadits “jariyah”. Menurut pendapat saya Syaikh Ibnu Taimiyah lah yang berusaha untuk membuka pintu ijtihad diluar hasil ijtihad imam 4 madzhab. Beliaulah sebenarnya pencetus manhaj Salaf , padahal harusnya manhaj tsb diberi nama beliau sendiri. Hal ini menurut pendapat saya, taktik beliau agar apa yang disampaikannya tidak ditolak umat muslim karena kalau manhajnya diberi nama beliau maka umat muslim akan mempertanyakan kesanggupan beliau sebagai imam mujtahid mutlak. Wallahu a’lam
Namun sekali lagi kita tidak boleh mensesatkan suatu kaum, kita hanya dapat sampaikan apa yang kita pahami.
Bisa saja seorang yang mengaku Salafi atau Wahabi namun dalam kenyataannya mereka mengambil yang baik-baik saja dari manhaj Salaf/Wahabi meninggalkan yang “diperdebatkan” seperti konsep tentang dzatNya (konsep/pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah) dan mereka melakukan sholat lima waktu tepat waktu ditambah segala sholat macam sholat sunnah, bagi prianya sholat berjamaah di masjid setiap waktu baik di rumah ataupun di tempat kerja termasuk sholat Subuh, berdzikir dan berdoa sesuai apa yang dicontohkan Rasulullah, setiap hari ada waktu untuk membaca dan memahami Al-Qur’an, apakah mereka bisa dikatakan sesat , apakah mereka bisa dikatakan lebih buruk dibandingkan kita ?
Wassalam
Kalau membaca uraian mas tentang Ibnu Taimiyah, saya ingat Yusuf Qadharwi, beliau banyak mengambil pendapat Ibnu Taymiah, dan berusaha mendudukkan posisinya dgn adil sama dgn para mujtahid islam lainnya. Sayangnya pihak salafi tidak bisa menerima pendapat-pendapat Yusuf Qadharwi dan menganggapnya menyimpang. Saya akui sebagian ajaran salafi wahabi ataupun semangatnya untuk memurnikan ajaran islam itu telah banyak mempengaruhi para ulama dan umat islam pada umumya, bahkan para teroris sekalipun. Kalaulah para pendukung salafi wahabi itu bisa mendudukkan persoalan perbedaan ini secara adil, tentulah dampak negatif dari kelahiran mazhab ini, seperti perpecahan dan saling hujat antar umat islam tidak akan terjadi.
pada 11 Januari 2011 pada 6:03 pm | Balasmutiarazuhud
Kita memang akui Syaikh Ibnu Taimiyah seorang ulama serba bisa. Beliau menguraikan dari mulai fiqih/hukum, ushuludin/i’tiqad, sampai muamalah dan siyasah (politik/pemerintahan) dan itu semua disertai dalil/hujjah untuk mendukung uraian beliau. Sehingga beliau dikenal juga sebagai ulama “catatan kaki” karena semua tulisan beliau dicantumkan catatan kaki (footnote) untuk dalil/hujjah/sumber yang digunakan.
Padahal kita ketahui bahwa ulama-ulama terdahulu mempunyai spesialisasi atau kedalaman bidang tertentu seperti Imam Syafi’i dibidang fiqih/hukum dan Imam Asy’ari dibidang ushuluddin/i’tiqad.
Dan dari pemahaman/uraian Syaikh Ibnu Taimiyah yang beliau sebut manhaj Salaf lahirlah beberapa cabang yang dilahirkan oleh beberapa ulama yang kehidupannya jauh setelah beliau wafat. Umumnya ulama-ulama tersebut tidak bertemu langsung atau berguru langsung dengan Syaikh Ibnu Taimiyah atau dikenal dengan “mengambil pendapat”. Dikalangan Ahlussunnah wal jam’ah dikenal dengan sanad ilmu yang terputus.
Beberapa cabang besar yang “mengambil pendapat” Syaikh Ibnu Taimiyah adalah
1. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dengan paham Wahabi nya yang sekarang menjadi paham resmi di kerajaan Saudi.
2. Ulama-ulama seperti Jamaluddin Al Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Redha, Sayyid Quthb, Hasan al Bana dll.
Dari kedua cabang ini saling bertolak belakang sehingga “menggangu” Ukhuwah Islamiyah, dari hal inilah menurut pendapat saya masalah Palestina, Afghanistan, Irak dll menjadi belum juga terselesaikan.
Selengkapnya silahkan baca tulisan pada
Dari kemampuan serba bisa Syaikh Ibnu Taimiyah, sebagian ulama mempertanyakan tentang kemampuan pendalaman Syaikh Ibnu Taimiyah sesungguhnya, termasuk penolakan jumhur ulama pada masa lalu terhadap konsep/pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah tentang dzatNya.
Sehingga beberapa ulama menggolongkan pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah tentang dzatNya / i’tiqad termasuk kelompok “nyaris” Musyabbihah atau Mujasimah.
Kenapa disebut “nyaris” Musyabbihah karena Musyabbihah yang sesungguhnya adalah firqah yang memperlakukan ayat-ayat mutasyabihat menurut lafazhnya yang dzahir, tidak boleh dita’wilkan sedikitpun sehigga mereka menyerupakan Allah dengan makhluk.
Sedangkan pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah sedikit berbeda, memperlakukan ayat-ayat mutasyabihat menurut lafazhnya yang dzahir, tidak boleh dita’wilkan namun beliau berharap tidak menyerupakan Allah dengan makhluk. Sebagai contoh, menurut pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah, Allah ta’ala mempunyai tangan namun tidak serupa dengan mahkluk.
Syaikh Ibnu Taimiyah memperlakukan ayat-ayat mutasyabihat menurut lafazhnya yang dzahir sebagai bentuk penghilangan penggunaan akal sebagai bentuk berserah diri dengan apa yang tersurat atau menurut mereka ‘sebagaimana yang Allah ta’ala sampaikan.
Sedangkan ulama-ulama pada umumnya memperlakukan ayat-ayat mutasyabihat dengan mengharapkan karunia Allah ta’ala dalam bentuk hikmah (pemahaman yang dalam) atau pemahaman tersirat atau pilihan lain tidak sama sekali menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat dan menyerahkan artinya kepada Allah ta’ala.
Wassalam
terima kasih tadz ats pejabarannya, jadi nambah wawasan.
Smoga berkah
Terima kasih atas penjelasannya. Salam
Mohon izin menimba ilmu di sini Mas Emzed, sebelum dan sesudahnya ane sampaikan banyak terimakasih atas izinnya.
pada 20 April 2011 pada 7:05 pm | Balasmutiarazuhud
Alhamdulillah,
silahkan mas Baihaqi, marilah kita bersama-sama memahami dan mengikuti petunjukNya agar mendapat ridhoNya ntuk sampai padaNya berkumpul dengan Rasulullah, para Nabi, para Shiddiqin, para Syuhada dan orang-orang sholeh.
salam ummati
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar