Hindari kekufuran i’tiqod


Hindari stempel manhaj atau mazhab salaf dan hindari kekufuran dalam i’tiqod
Himbauan kami yang termuat dalam tulisan pada
bahwa istilah “manhaj salaf” atau “mazhab salaf” sebaiknya ditiadakan karena semakin lama kita temukan semakin menyesatkan atau minimal membingungkan ummat muslim. Himbauan kami ini sebaiknya segera secepatnya disosialisasikan kepada orang banyak.
Saat ini sebagian muslim tertipu kalau ada pernyataan atau pendapat ulama yang “distempel” dengan “manhaj salaf” atau “mazhab salaf” seolah-olah pernyataan atau pendapat yang disampaikan ulama yang mempergunakan “stempel” tersebut sudah pasti benar seperti pasti benarnya (lafadz/nash) Al Qur’an dan (lafadz/nash) Hadits sehingga mereka tidak mau lagi mendengar apa yang kita sampaikan atau mereka tidak mau lagi merujuk/memeriksa kepada (lafadz/nash) Al Qur’an dan (lafadz/nash) Hadits.
Ulama tersebut benar mengambil sumber dari (lafadz/nash) Al Qur’an dan (lafadz/nash) Hadits atau lafadz/tulisan ulama salaf namun apa yang mereka sampaikan tersebut adalah pemahaman mereka terhadap (lafadz/nash) Al Qur’an dan (lafadz/nash) Hadits atau pemahaman mereka terhadap lafadz/tulisan ulama salaf dimana pemahaman mereka bisa benar dan bisa pula salah.
Fitnah yang terjadi pada zaman ini adalah sebagian ulama menyampaikan pemahamannya sendiri terhadap (lafadz/nash) Al Qur’an dan (lafadz/nash) Hadits atau pemahamannya sendiri terhadap lafadz/tulisan ulama salaf namun dikatakan sebagai pemahaman Salafush Sholeh.
Sikap ulama tidak mengatakan atau menjelaskan bahwa apa yang disampaikan adalah pemahaman mereka sendiri merupakan sikap tidak bertanggung jawab dan akhlak yang tidak pantas untuk dijadikan panutan atau tauladan. Bahkan ulama yang mengatakan bahwa apa yang disampaikan adalah pemahaman Salafush Sholeh dan ternyata apa yang disampaikan adalah keliru / salah paham maka pada dasarnya ulama tersebut telah memfitnah Salafush Sholeh. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/06/12/boleh-jadi-fitnah/
Kita jarang temukan dalam tulisan-tulisan mereka seperti
“pendapat kami berdasarkan perkataan ulama salaf di atas adalah ……“,
“perkataan ulama salaf tersebut kami pahami sebagai ….“

Ulama Ibnu Taimiyah berpendapat atau bahkan berfatwa bahwa,
“Tidak ada aib atas orang-orang yang menonjolkan manhaj salaf, menisbatakan dan menasabkan padanya, bahkan wajib menerimayang demikian itu dengan kesepakatan (para ulama), karena sesungguhnya tidak ada pada manhaj salaf kecuali kebenaran” (Majmu’ Fatawa 4/129).

“Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan madzab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena mazhab salaf itu pasti benar” [Majmu Fatawa 4/149]
Pada hakikatnya apa yang disampaikan oleh ulama Ibnu Taimiyah dalam dua buah fatwanya tersebut tentang adanya “manhaj salaf” dan “mazhab salaf” adalah sebuah kesalahpahaman yang membawa malapetaka dalam dunia Islam.
Ketika ulama Ibnu Taimiyah menyampaikan apa yang dikatakan sebagai “manhaj salaf” atau “mazhab salaf” pada hakikatnya adalah pemahaman beliau sendiri terhadap (lafadz/nash) Al Qur’an dan (lafadz/nash) Hadits atau lafadz/tulisan ulama salaf. Apa yang dipahami oleh beliau bisa benar dan bisa pula salah.
Kebenaran atau yang pasti benar hanyalah (lafadz/nash) Al Qur’an dan (lafadz/nash) Hadits sedangkan segala pemahaman/penafsiran/penterjemahan/perkataan/pendapat manusia selain Rasul Allah , bisa benar dan bisa pula salah.
Terlebih banyak pendapat/pemahaman ulama Ibnu Taimiyah dibantah oleh para ulama baik yang hidup pada zaman beliau maupun setelah beliau wafat. Sebenarnya pemahaman ulama Ibnu Taimiyah khususnya pemahaman beliau dalam i’tiqod telah terkubur dan dilupakan orang namun sayangnya diangkat kembali oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahhab pendiri paham Wahhabi.
Pendapat/pemahaman ulama Ibnu Taimiyah dibantah oleh para ulama Ahlussunnah wal Jamaah. Salah satu contohnya adalah yang terurai dalam ebook

Dalam ebook tersebut terurai akan kekufuruan i’tiqod dari pemahaman Ibnu Taimiyah
Kutipan ebook tersebut

***awal kutipan ****
“Al Hafizh Abu Sa’id al ‘Ala-i (W 761 H) yang semasa dengan Ibnu Taimiyah juga mencelanya. Abu Hayyan al Andalusi (W 745 H) juga melakukan hal yang sama, sejak membaca pernyataan Ibnu Taimiyah dalam Kitab al ’Arsy yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah duduk di atas Kursi dan telah menyisakan tempat kosong di Kursi itu untuk mendudukkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam bersama-Nya”, beliau melaknat Ibnu Taimiyah.

Abu Hayyan mengatakan: “Saya melihat sendiri hal itu dalam bukunya dan saya tahu betul tulisan tangannya”. Semua ini dituturkan oleh Imam Abu Hayyan al Andalusi dalam tafsirnya yang berjudul an-Nahr al Maadd min al Bahr al Muhith.. Ibnu Taimiyah juga menuturkan keyakinannya bahwa Allah duduk di atas ‘Arsy dalam beberapa kitabnya: Majmu’ al Fatawa, juz IV, hlm. 374, Syarh Hadits an-Nuzul, hlm. 66, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, juz I , hlm. 262.
Keyakinan seperti ini jelas merupakan kekufuran. Termasuk kekufuran Tasybih; yakni menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya sebagaimana dijelaskan oleh para ulama Ahlussunnah. Ini juga merupakan bukti bahwa pernyataan Ibnu Taimiyah Mutanaaqidl (Pernyataannya sering bertentangan antara satu dengan yang lain). Bagaimana ia mengatakan -suatu saat- bahwa Allah duduk di atas ‘Arsy dan –di saat yang lain- mengatakan Allah duduk di atas Kursi ?!, padahal kursi itu jauh sangat kecil di banding ‘Arsy.”
****akhir kutipan****

Bahkan dilain tulisan, kami temukan bahwa Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H). Beliau mengkafirkan Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syekh al Islam. Artinya orang yang menyebutnya dengan julukan Syekh al Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-Dlau Al Lami’.
Contoh, apa yang diutarakan oleh ulama mereka pada zaman sekarang yang dapat menimbulkan kekufuran dalam i’tiqod/akidah namun dikatakan oleh mereka sebagai pemahaman Salafush Sholeh dalam memahami firman Allah ta’ala dalam (QS Al Mulk [67]:16 )
a-amintum man fiis samaa-i ay yakhsifa bikumu al-ardha fa-idzaa hiya tamuur
atau dalam

dari kedua link/tulisan tersebut dapat ditemukan dipahami oleh mereka sebagai,
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di (atas) langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (tafsiran pertama)

Sedangkan pada link lainnya
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berada) di atas langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (tafsiran kedua),

Pada tafsiran pertama belum begitu jelas mereka meyakini bahwa Allah bertempat di atas langit namun dari keseluruhan tulisan pada kedua link tersebut yang terkait tafsiran pertama dapat diketahui bahwa mereka memahami bahwa “Allah ta’ala berada atau bertempat di atas langit” sebagaimana pula tafsiran yang kedua.
Hal yang kita sayangkan adalah mereka mengatakan atau mengklaim bahwa apa yang mereka sampaikan adalah pemahaman Salafush Sholeh. Kalau berdasarkan fatwa ulama Ibnu Taimiyah adanya manhaj salaf atau mazhab salaf maka apa yang mereka sampaikan menurut mereka adalah pasti benar.
Kalau kita periksa terjemahan Al-Qur’an seperti pada
atau
atau pada kitab-kitab terjemahan Al-Qur’an pada umumnya, maka akan kita temukan terjemahan pada umumnya adalah,
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?”,

Pendapat kami, penyisipan kata “(berkuasa)” dalam terjemahan tersebut, justru untuk menghindari pemahaman bahwa “Allah yang di langit” atau “Allah yang berada/bertempat di langit“
Begitupula mereka memahami “arrahmaanu ‘alaa ‘arsyi istawaa” (QS Thaha [20]: 5) sebagai “Tuhan Yang Maha Pemurah bersemayaman di atas ‘Arsy” dimana bersemayam dimaknai sebagai “bertempat/berada di atas ‘Arsy“
Silahkan bandingkan pemahaman mereka dengan pemahaman yang lain seperti
atau dengan pemahaman kami yang telah diuraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/06/10/mereka-masih-bertanya/
atau
bahwa “Allah ta’ala adalah dekat, Dia wujud (ada) sebagaimana sebelum diciptakan Arsy atau sebagaimana sebelum diciptakan langit, tidak berubah dan tidak pula berpindah. Yang berpindah hanyalah makhlukNya. Apapun yang berpindah pastilah mempunyai dimensi atau ukuran“.

Begitupula yang disampaikan oleh ustadz Ahmad Daeroby bahwa “Bersemayam maksudnya menguasai ‘Arasy, sebagaimana seorang raja duduk diatas kursi singgasananya mangandung makna menguasai atau penguasa. Karena ketika kata “bersemayam” diartikan mentah (pen. dzahir) maka akan terbayang Allah sedang bersemayam dan ini membuat kufur, keluar dari agama Islam, menyerupakan sesuatu dengan Allah. Istawa yang artinya bersemayam disebutnya kalimat Majaz.“
Selengkapnya silahkan baca pada

Marilah kita menghindari ayat-ayat mutasyabihat atau lebih dari satu makna yang berkaitan dengan Allah ta’ala dipahami secara dzahir atau secara tersurat/tertulis atau yang kami katakan dengan metodologi “terjemahkan saja” karena hal itu akan menjerumuskan kita kepada kekufuran dalam i’tiqod. Metodologi “terjemahkan saja” telah kami uraikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/06/10/2011/02/02/terjemahkan-saja/Jika kita menghindari pemahaman dengan metodologi “terjemahkan saja”, sekaligus menghindari kita dari bahaya radikalisme sebagaimana yang telah kami uraikan dalam tulisan pada
Pendapat Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad sebaiknya kita ingat selalu agar kita terhindar dari kekufuran dalam i’tiqod / akidah.
“Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.

Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

3 Tanggapan
Pendapat Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad sebaiknya kita ingat selalu agar kita terhindar dari kekufuran dalam i’tiqod / akidah.
“Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.

setuju sekali karena hal ini telah dijelaskan oleh Allah, bahwa ayat-ayat mutasyabihat itu adalah ditakwil.



pada 20 Juni 2011 pada 5:11 pm | Balashttp://0.gravatar.com/avatar/a9c0858d29fac53d3efaf09c567cd352?s=48&d=identicon&r=Gmamo cemani gombong
buat yang anti takwil silahkan pendapatnya………..



Yā ‘Ayyuhā Al-Ladhīna ‘Āmanū ‘Aţī`ū Allāha Wa Rasūlahu Wa Lā Tawallaw `Anhu Wa ‘Antum Tasma`ūna
Wa Lā Takūnū Kālladhīna Qālū Sami`nā Wa Hum Lā Yasma`ūna
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar