Aqidah Mereka

Beberapa dari mereka menyampaikan kepada kami tentang aqidah atau i’tiqad mereka dalam hal mengenal Allah Azza wa Jalla.
Sebagian dari mereka datang kepada kami dengan keadaan gundah gulana atau kebingungan karena mereka secara teori atau ilmu telah mengenal Allah namun hati mereka tidak dapat memandang Allah Azza wa Jalla.  Mereka seperti ini mudah untuk kita sampaikan tentang  mengenal Allah ta’ala dengan hati atau hakikat keimanan.
Namun ada yang menyampaikan kepada kami dengan perdebatan dan suatu perjanjian  bahwa yang “kalah” dalam adu argumen akan mengikuti keyakinan atau aqidah  yang “menang” dalam adu argumen.
Sebagaimana yang telah diuraikan dalam tulisan pada
Dalam hal seperti itu kami berpegang dengan apa yang disampaikan Al Ajurri  bahwa suatu hari datang seorang laki-laki ke Hasan al Bashri dan berkata ‘Wahai Abu Isa (panggilan Hasan) kesinilah aku akan mendebatmu dalam hal agama!’  Maka Hasan al Bashri rahimahullah berkata “Adapun diriku, maka aku tahu apa agamaku, jika kau kehilangan agamamu maka carilah sendiri.”
Inilah sikap yang diambil oleh ulama yang paham tentang makna agama ini yang juga harus menjadi sikap kita dan sikap setiap muslim dalam menghadapi banyaknya kelompok Islam pada zaman sekarang ini.
Hendaknya kita mengikuti agama yang kebenaran hanya satu ini dan tidak menjadikan agama dan keyakinan kita mengikuti orang lain yang lebih pintar berdebat dari kita.
Ikutiah Islam sebagaimana dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, diikuti oleh para sahabat radliyallahu ‘anhum dan diteruskan para ulama sholeh kita. Ulama yang sholeh telah kami uraikan dalam tulisan pada
Baiklah, kami sampaikan apa yang menjadi pegangan aqidah “mereka yang gemar berdebat” salah satunya adalah kitab/ebook berikut
Inti kesalahpahaman kitab/ebook itu adalah memahaminya secara dzahir atau apa yang tertulis/tersurat  terhadap ayat-ayat mutasyabihat, sementara hakikat maknanya mereka serahkan kepada Allah Azza wa Jalla
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad menyatakan:
“Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Ulama-ulama kami beragama  “melalui”  Syariat, Thariqat, Hakikat dan Ma’rifat.
Ulama-ulama kami menyampaikan bahwa maha suci Allah ta’ala dari “di mana” dan “bagaimana”
Imam al Qusyairi menyampaikan,  ” Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerih payah, dan kreasi-kreasi yang mampu menggambari-Nya, atau menolak dengan perbuatan-Nya atau kekurangan dan aib. Karena, tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan apa pun tidak ada yang mengalahkan-Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan Kuasa“.
Mereka yang memahami secara dzahir mengatakan bahwa Allah ta’ala menciptakan ‘Arsy dan “..kemudian Dia-pun bersemayam di atas ‘Arsy”.(As-Sajdah:4)
Bersemayam ditafsirkan pula bertempat atau berada di atas ‘Arsy.
Allah Azza wa Jalla di atas ‘arsy atau ‘arsy di bawah Allah Azza wa Jalla
Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam  menyampaikan yang maknanya: “Engkau azh-Zhahir,  tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah al Bathin  tidak ada sesuatu di bawah-Mu” (H.R. Muslim dan lainnya).
Lihat kitab/ebook  mereka diatas hal 9,  hadis Nuzûl dipahami mereka secara lahirnya yaitu Allah subhânahû wa ta‘âlâ turun ke langit dunia, turun dari atas ke bawah dan berpindah, maka pemahaman ini akan melahirkan Ittihâd sekaligus Hulûl lantaran langit ada tujuh lapis, dan Allah subhânahû wa ta‘âlâ turun ke langit dunia atau langit pertama sehingga langit ke dua sampai ke enam bahkan ‘Arasy akan berada di atas Allah subhânahû wa ta‘âlâ, na‘ûdzu billâh. Untuk mengetahui hakikat makna turunnya Allah ta’ala silahkan lihat tulisan pada
Jika konsep “Bi Lâ Kayf” telah tertanam dalam keyakinan kita, maka segala karakter turunnya makhluk yaitu pergerakan dari atas ke bawah dan berpindah pasti ternafi dari Allah subhânahû wa ta‘âlâ karena segala bentuk perpindahan adalah sebuah “Kayf”. Maka, kata “nuzûl, istiwâ’” lebih layak kita katakan Nuzûl-Nya Allah subhânahû wa ta‘âlâ adalah Nuzûl yang layak bagi keagungan dan kemulian-Nya tanpa berpindah, tanpa Kayf.
Begitu pun dengan Istiwâ’, Allah Yang Maha beristiwâ’, tidak dapat dikatakan “bagaimana” (sebuah kalimat istifhâm untuk menanyakan metode, tata cara, visualisasi), karena bagaimana mungkin kita akan menanyakan “bagaimana” padahal segala bentuk metode, tatacara, visualisasi (Kayfiyyât) semuanya ternafi dari Allah subhânahû wa ta‘âlâ.
Oleh karenanya dalam hal memahami ilmuNya atau agama kita tidak dapat 100% belajar sendiri atau secara otodidak dari tulisan/buku/kitab/literatur/transkript.
Memang Al-Qur’an diturunkan “dengan bahasa Arab yang jelas” (QS Asy Syu’ara [26]:195) namun dapat dipahami oleh kaum yang mengetahuinya. firman Allah ta’ala yang artinya, “Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fushshilat [41]:3 ).
Oleh karenanya perlu kita bertanya atau meminta bimbingan dari mereka yang mengetahui sebagai mana firman Allah ta’ala yang artinya “maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS An Nahl [16]:43 )
Kita sangat memerlukan bimbingan dari seorang yang telah terbukti berhasil mengikuti Rasulullah dan para Salafush Sholeh.  Orang yang telah terbukti berhasil mengikuti Rasulullah dan para Salafush Sholeh adalah mereka yang telah menunjukkan ke-sholeh-an atau ke-ihsan-an nya.  Tingkat ke-ihsan-an itu cuma ada dua tingkatan, yakni yang utama adalah mereka yang dapat memandang Allah Azza wa Jalla dengan hati atau hakikat keimanan. Sedangkan tingkatan di bawah itu adalah mereka yang selalu yakin bahwa Allah Azza wa Jalla melihat seluruh perbuatan manusia. Ujung dari beragama adalah ke-sholeh-an atau ke-ihsan-an atau akhlak sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah bahwa “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Para ulama menegaskan bahwa esensi Aqidah itu adalah ke-Esa-an Allah Subhanahu wa ta’ala, kerasulan Nabi Shallallahu alaihi wasallam dan adanya hari akhirat. Inti Aqidah Islam tersebut akan membawa titik temu dari perbedaan-perbedaan aliran yang sebenarnya terpecah karena perbedaan kecil saja.  Semua aliran yang ada dalam Islam haruslah kembali kepada tiga esensi tersebut.  Dan yang terpenting dari semua itu adalah “menempatkan” Tuhan dalam totalitas kehidupan kita. Tuhan tidak sekedar diimani sehingga hanya menjadi sebuah konsep keyakinan di dalam qalbu. Manusia setiap hari bahkan mungkin setiap detik berbincang-bindang dengan Tuhan. Tiap sebentar nama-nama Tuhan disebut. Tapi hati kita sering bisu, tuli atau diam.  Tuhan kita usir dari ruang hati kita.  Na‘ûdzu billâh.
Maka agar kehidupan kita dapat berjalan islami perlu kita kalkulasikan berapa kali kita sadar akan kehadiran Tuhan di tengah-tengah aktifitas kita. Mana lebih banyak Tuhan kita sebut atau harta, mana yang sering kita ulang-ulang dalam hati, Tuhan atau uang. Bagi yang sadar tentu Tuhannya: Allah Azza wa Jalla,  semoga.
Sekali lagi marilah kita berzuhud terhadap dunia meninggalkan segala sesuatu yang dapat melalaikan kita dari mengingat Allah
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor, 16830
=====
2 April 2011 oleh mutiarazuhud

Tidak ada komentar:

Posting Komentar