Boleh jadi fitnah

Boleh jadi mereka malah telah memfitnah para Salafush Sholeh
Kami telah menguraikan dalam beberapa tulisan bahwa manhaj salaf atau mazhab salaf yang telah difatwakan oleh Ibnu Taimiyah pada hakikatnya tidak pernah dikatakan oleh para Salafush Sholeh maupun oleh Nabi kita Sayyidina Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.
Tulisan tersebut secara berurutan adalah

Kemudian dilengkapi dengan tulisan yang menguraikan secara singkat siapa ulama Ibnu Taimiyah

Dalam tulisan pertama diatas yakni “Adakah Manhaj Salaf” dapat kita ketahui bagaimana mereka tidak menyampaikan perkataan Rasulullah yang artinya “kemudian setelah mereka akan datang suatu kaum kesaksian mereka mendahului sumpah mereka, dan sumpah mereka mendahului kesaksian mereka.” dalam hadits “generasi terbaik”. Mereka mengalihmaknakan arti yang dimaksud dengan terbaik.
Dari perkataan Rasulullah yang lengkap dalam hadits generasi terbaik ini dapat kita pahami generasi terbaik tidak terbatas hanya pada tiga generasi pertama namun diiikuti generasi-generasi berikutnya bagi mereka yang bersaksi bahwa “Muhammad adalah utusan Allah”.
Ini terkait dengan firman Allah ta’ala yang artinya, “kuntum khayra ummatin ukhrijat lilnnaasi“, “Kamu (umat Rasulullah) adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia” (QS Ali Imran [3]:110 ).
Sahabat dikatakan “sebaik-baik manusia” karena termasuk manusia awal yang “melihat” Rasulullah atau manusia awal yang bersaksi atau bersyahadat dan berbai’at kepada Rasulullah. Tidak ada kaitannya dengan manhaj atau mazhab Salaf.
Ulama mereka kerap berkata bahwa kita harus mengikuti pendapat atau pemahaman Salafush Sholeh.
Bagaimana pendapat atau pemahaman sebenarnya Salafush Sholeh menjadi termasuk perihal yang ghaib karena waktunya sudah berlalu (Al-Ghaibul Madhi) yaitu segala sesuatu atau kejadian yang terjadi pada zaman dahulu, yang mana kita tidak hidup sezaman dengannya. Sehingga kita tidak bisa melakukan konfirmasi (temu-muka atau lisan ke lisan) akan pemahaman mereka sesungguhnya.
Pada kenyataannya pendapat atau pemahaman Salafush Sholeh yang ada pada zaman sekarang hanyalah dalam bentuk tulisan yang harus kita pahami.
Pada saat syaikh/ulama/ustadz mereka yang mengaku bermazhab/bermanhaj salaf ketika mereka membaca Quran dan Sunnah serta tulisan pendapat atau pemahaman Salafush Sholeh , lalu mereka pun berjtihad dengan pendapat mereka. Apa yang mereka katakan tentang Quran dan Sunnah serta tulisan pendapat atau pemahaman Salafush Sholeh, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu mereka sendiri. Sumbernya memang Quran dan Sunnah serta tulisan pendapat atau pemahaman Salafush Sholeh, tapi apa yang mereka sampaikan semata-mata lahir dari kepala mereka sendiri.
Apa yang ulama mereka sampaikan bukanlah pendapat atau pemahaman Salafush Sholeh namun hasil pemahaman ulama mereka terhadap tulisan perkataan/pendapat/pemahaman Salafush Sholeh.
Jadi kalau mereka salah memahami tulisan perkataan/pendapat/pemahaman Salafush Sholeh boleh jadi mereka telah memfitnah para Salafush Sholeh kalau mereka mengatakan apa yang mereka sampaikan tersebut adalah pasti pendapat/pemahaman Salafush Sholeh.
Kesalahpahaman selama ini sehingga menimbulkan perselisihan di antara umat Islam, salah satunya timbul karena hipnotis ulama Ibnu Taimiyah bahwa “mazhab salaf itu pasti benar” dalam fatwa beliau yang cukup terkenal yakni,
“Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan madzab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena mazhab salaf itu pasti benar” [Majmu Fatawa 4/149]
Seolah apa yang mereka sampaikan adalah pasti benar padahal apa yang mereka sampaikan adalah pemahaman mereka terhadap tulisan perkataan/pendapat/pemahaman Salafush Sholeh. Pemahaman mereka atau apa yang disampaikan mereka tentu belum pasti benar, karena yang pasti benar hanyalah perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan firman Allah Subhanahu wa ta’ala.
Sedangkan kita tahu bahwa upaya pemahaman yang mereka lakukan pada umumnya memahami Al-Qur’an dan Hadits secara dzahir atau apa yang tersurat atau yang kami katakan dengan metodologi “terjemahkan saja”. Sebagaimana yang telah kami uraikan dalam tulisan pada
Contoh kecil mereka tidak memahami kata kiasan (balaghah) seperti “Dengan Rasulullah”. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada
Bahkan dalam kutbah Jum’at , 10 Juni 2011 di sebuah mesjid pada kawasan pabrik di Cileungsi yang sempat kami hadiri, sang khatib dari kalangan mereka mengatakan bahwa pesantren-pesantren tradisional di negeri kita menyibukkan diri dengan Nahwu, Shorof, Balaghah untuk membuat syair-syair. Perkataan yang menunjukkan mereka memang menggunakan metodologi “terjemahkan saja” untuk memahami Al-Qur’an dan Hadits.
Memang Al-Quran “dengan bahasa Arab yang jelas”. (QS Asy Syu’ara’ [26]: 195) namun dalam firman Allah ta’ala pada ayat lain yang menerangkan bahwa walaupun Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas namun pemahaman yang dalam haruslah dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten (ahlinya). “Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3).
Pemahaman ayat-ayat mutasyabihat dengan menggunakan metodologi “terjemahkan saja” akan menimbulkan kekufuran.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad menyatakan:
“Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.

Syekh Ibn Hajar al Haytami (W. 974 H) dalam al Minhaj al Qawim h. 64, mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya al Qarafi dan lainnya meriwayatkan perkataan asy-Syafi’i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah – semoga Allah meridlai mereka- mengenai pengkafiran mereka terhadap orang- orang yang mengatakan bahwa Allah di suatu arah dan dia adalah benda, mereka pantas dengan predikat tersebut (kekufuran)”.
Al Imam ath-Thahawi juga mengatakan: “Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir”.
Di antara sifat-sifat manusia adalah bergerak, , turun, naik, duduk, mempunyai jarak, menempel, berpisah, berubah, berada pada satu tempat dan arah, berbicara dengan huruf, suara dan bahasa dan sebagainya.
Ibn al Mu’allim al Qurasyi (W. 725 H) menyebutkan dalam karyanya Najm al Muhtadi menukil perkataan al Imam al Qadli Najm ad-Din dalam kitabnya Kifayah an-Nabih fi Syarh at-Tanbih bahwa ia menukil dari al Qadli Husayn (W. 462 H) bahwa al Imam asy-Syafi’I menyatakan kekufuran orang yang meyakini bahwa Allah duduk di atas ‘arsy dan tidak boleh shalat (makmum) di belakangnya.
Para ulama dari kalangan empat madzhab membagi kufur menjadi tiga macam:
1. Kufur I’tiqadi, seperti orang yang meyakini bahwa Allah berada di arah atas atau arah-arah lainnya, bersemayam atau duduk di atas ‘arsy, atau meyakini Allah seperti cahaya atau semacamnya.
2. Kufur Fi’li, seperti sujud kepada berhala, melempar mushhaf atau lembaran-lembaran yang bertuliskan ayat al Qur’an atau nama-nama yang diagungkan ke tempat sampah atau menginjaknya dengan sengaja dan lain-lain.
3. Kufur Qauli, seperti mencaci Allah, mencaci maki nabi, malaikat atau Islam, meremehkan janji dan ancaman Allah, menentang-Nya, mengharamkan perkara-perkara yang jelas-jelas halal, menghalalkan perkara-perkara yang jelas-jelas haram dan lain-lain.

Semoga kita dapat menghindari fitnah terhadap Salafush Sholeh dikarenakan kita mengatakan bahwa apa yang kita atau ulama kita sampaikan pastilah pemahaman Salafush Sholeh.
Hindarilah kekufuran dalam i’tiqod seperti bahwa Allah ta’ala bertempat diatas ‘Arasy dan turun ke langit dunia setiap malam.
Kalau belum dapat merujuk langsung dengan Al-Qur’an dan Hadits, maka tidak mengapa mengikuti salah satu imam mazhab dari yang empat kemudian barulah merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadits.
Kalau menemukan ayat-ayat mutasyabihat atau ayat-ayat lain yang berhubungan dengan i’tiqad/akidah dan tidak di pahami, untuk menghindari kekufuran i’tiqad maka bertanyalah kepada mereka (ulama) yang mengetahui sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya, “maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS An Nahl [16]:43).
Sebaiknya jangan fanatik dengan orang yang menguasai bahasa Arab karena belum tentu orang yang menguasai bahasa Arab dapat memahami Al-Qur’an, Hadits dan tulisan perkataan/pendapat/pemahaman Salafush Sholeh. Selain penguasaan bahasa Arab diperlukan keahlian yang lain untuk dapat memahami Al-Qur’an, Hadits dan tulisan perkataan/pendapat/pemahaman Salafush Sholeh. Bahkan upaya memahami Al-Qur’an dan Hadits dalam rangka untuk menetapkan hukum perkara/perbuatan atau beristinbath diperukan syarat sebagai mujtahid sebagaimana telah diurakan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/03/31/imam-mujtahid/
Juga Allah ta’ala mengkaruniakan hikmah (pemahaman yang dalam) kepada siapa yang dikehendakiNya tidak terbatas hanya pada suatu kaum saja.
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 )
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
=====
12 Juni 2011 oleh mutiarazuhud

Tidak ada komentar:

Posting Komentar