Rasulullah bertasawuf

Sering ditanyakan kepada kami, “apakah Rasulullah & para Sahabat serta Imam yang Empat, Tabi’in & tabi’ut tabi’in bertasawuf?“

Jawaban kami

Tahukah kita, mengapa mereka ada yang dipanggil sebagai Salafush Sholeh?
Karena mereka sholeh, baik, berakhlak baik, mereka mempersembahkan diri mereka di hadapanNya. Mereka tidak mau membela diri karena malu terhadap rububiyah-Nya dan merasa cukup dengan sifat qayyum-Nya.

Mereka yakin bahwa Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri.
Mereka adalah generasi terbaik yang berserah diri (Islam) kepada Allah.
Sehingga mereka mencapai tingkatan muslim yang terbaik yakni Ihsan (muhsin/muhsinin). Ihsan (kata arab) yang maknanya baik, terbaik.
Kami berupaya mengikuti/mencontoh para Salafush sholeh. Kami mendalami tasawuf dalam islam adalah mendalami tentang akhlakul karimah, mendalami upaya agar dapat “seolah-olah melihatNya”, mendalami tentang ihsan yang bagian dari pokok-pokok ajaran Islam sebagaimana yang disampaikan oleh malaikat Jibril.
Tentang Islam (rukun Islam/fiqih), Tentang Iman (rukun Iman/Ushuluddin) , Tentang Ihsan (akhlak/tasawuf)
Rasulullah saw berkata, “Beribadah kepada Allah seolah-olah anda melihat-Nya walaupun anda tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat anda.” (HR Muslim)
Selengkapnya silahkan baca tulisan pada
Kadang kita mendengar saudara muslim kita yang memperturutkan hawa nafsunya, sibuk dengan istilah tasawuf mengatakan,
“kalau tasawuf ajaran Rasulullah ?? dari mana asal kata tasawuf ??”
“Apakah Muhammad Rasulullah saw, pernah bertutur dalam hadist sahih bahwa “Sarana atau ilmu untuk paham seputar mengenal Allah adalah ilmu Tasawuf”?”
“Apakah Muhammad Rasulullah saw pernah mengaku sebagai sufi dan pendiri aliran tasawuf??”
Berikut tulisan yang menarik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dan yang senada dengan itu, memperdebatkan masalah yang bukan substansi, yakni istilah tasawuf.
Selengkapnya silahkan baca tulisan pada

*****awal kutipan*****
Membahas masalah Tasawuf saya jadi ingat pengajian rutin mingguan yang diadakan di Masjid Al-Buthi, Damaskus, setiap Jumat bakda Ashar, membahas kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiah yang disampaikan langsung oleh Syaikh Dr. M. Said Ramadhan Al-Buthi. Pembahasan terakhir kebetulan sampai pada Bab Tasawuf, setelah selesai membahas Bab Al-Faqr.
Dalam pengajian terakhir (14/5/2010), Syaikh Al-Buthi menerangkan bahwa istilah tasawuf adalah istilah yang tidak memiliki asal. Memang ada yang mengatakan bahwa Tasawuf berasal dari kata Shuuf (bulu domba), Ahlus Shuffah (penghuni Shuffah), Shafaa (jernih), Shaff (barisan) dan lain-lain. Namun teori-teori itu tidak ada yang tepat menurut beliau sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Qusyairi sendiri dalam kitabnya. Namun yang menjadi fokus pembahasan bukanlah itu, yaitu meributkan masalah nama atau istilah yang takkan pernah ada habisnya, karena setiap orang bisa membuat istilah sesuka hatinya. Yang menjadi fokus adalah substansinya. Oleh karena itu, ada sebuah ungkapan yang sudah sangat masyhur di kalangan para ulama dan santri, “La musyahata fil ishthilah (tidak perlu ribut karena membahas istilah).”
Dalam dunia ushul fikih kita mengenal istilah Wajib dan Fardhu, menurut Jumhur Fuqoha keduanya memiliki arti yang sama, namun menurut Hanafiyah keduanya berbeda. Dalam dunia Mushtolah Hadis kita mengenal istilah Hadis Mursal yang menurut ahli hadis artinya adalah hadis yang dinaikkan oleh seorang tabii tanpa menyebutkan siapa perantaranya kepada Nabi SAW, namun menurut ahli ushul artinya adalah hadis yang terputus secara mutlak, di mana pun letaknya dan berapa pun jumlah perawinya, mirip Hadis Munqathi’. Imam Asy-Syafii mengingkari Istihsan dan mengatakan bahwa “Barangsiapa ber-istihsan maka ia telah membuat syariat (baru)”, sedangkan Ulama Hanafiyah paling banyak menggunakan Istihsan. Setelah diselidiki dan diteliti ternyata perbedaan mereka hanya sampai pada tataran istilah saja (ikhtilaf lafzhi), namun pada substansinya mereka sepakat. Istihsan yang dimaksud oleh Imam Asy-Syafii bukanlah Istihsan yang selama ini dipakai oleh Ulama Hanafiyah. Kata Sunnah pun memiliki pengertian yang bebeda-beda menurut ahli fikih, ushul fikih dan mustholah hadis. Demikianlah seterusnya, perdebatan dalam masalah istilah takkan pernah menemui titik temu dan takkan memberikan manfaat yang signifikan.
Demikian pula dalam masalah Tasawuf. Banyak orang berbondong-bondong mengumandangkan genderang dan mengibarkan bendera perang terhadap apa yang disebut Tasawuf. Buku-buku ditulis, pengajian-pengajian digelar, perang opini dikobarkan. Semuanya dengan satu tujuan, memberangus Tasawuf dari muka bumi. Sementara itu, di sisi lain berbondong-bondong pula orang yang siap membela mati-matian Tasawuf. Padahal, banyak di antara mereka yang tidak mengerti dan tidak memahami apa hakikat dari istilah Tasawuf itu sendiri. Ironis.
Syaikh Al-Buthi berkata, “Jika Tasawuf yang kalian maksud itu adalah pelanggaran-pelanggaran terhadap syariat seperti ikhtilath (campur baur) laki-laki dengan perempuan dan lain-lain, maka aku akan berdiri bersama kalian dalam memerangi Tasawuf. Namun jika yang kalian perangi adalah perkara-perkara yang memang berasal dari Islam seperti tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), akhlak dan lain-lain, maka berhati-hatilah!”
Beliau juga sering mengulang-ulang perkataan ini, “Namailah sesuka kalian: Tasawuf, Tazkiyah, Akhlak atau yang lainnya selama substansinya sama.”
Ya, ternyata istilah tidaklah sedemikian penting dibandingkan dengan subtansinya selama dalam batas-batas yang bisa ditolerir. Syaikh Al-Buthi bahkan menegaskan dalam ceramahnya, “Saya sengaja berusaha sebisa mungkin untuk tidak menggunakan istilah tasawuf dalam kitab saya, Syarah Hikam Atho’iyah, demi menjaga perasaan saudara-saudara kami yang sudah termakan opini bahwa tasawuf bukanlah dari Islam.”
Namun, apakah dengan demikian beliau mengingkari inti atau substansi Tasawuf? Jawabannya seperti yang sudah saya sebutkan di atas. Apapun istilahnya, jika memang terbukti berupa pelanggaran terhadap syariat maka kita harus berdiri dalam satu barisan untuk memeranginya. Namun jika hal-hal itu adalah bagian dari Islam atau bahkan inti ajaran Islam, maka tidak semestinya kita menolaknya.

Jadi, kita mesti banyak berhati-hati dalam menggunakan istilah sebelum memahami makna sebenarnya. Jangan sampai kita terjebak dalam perangkap musuh yang sengaja mengkotak-kotakkan umat Islam dengan cara menciptakan istilah-istilah agar umat Islam disibukkan membahasnya lalu terlupakan akan tugas yang lebih penting dan lebih besar manfaatnya daripada itu. Jangan sampai kita terpecah-pecah karena masalah furu’iyyah sementara kita melupakan prinsip-prinsip agama kita. Wallahu a’lam.
*****akhir kutipan*****
Orang-orang kafir atau orang-orang Yahudi, mereka tahu bahwa jalan menuju kesempurnaan (ihsan) seorang muslim adalah mendalami tentang ihsan(tasawuf), sehingga mereka berupaya mencitrakan buruk kepada tasawuf dalam Islam dan sebagian ulama termakan propaganda tersebut.
Perhatikanlah bagaimana Orang-orang kafir atau orang-orang yahudi berupaya meruntuhkan akhlak kaum muslim dengan budaya mereka, pornografi, seks bebas, homoseksual, miras, narkoba dll.
Hal inilah yang terjadi di zaman yang dikatakan modernisasi agama dimana ulama-ulama melupakan tentang tasawuf dalam islam, sehingga dari ulama-ulama seperti itu lahirlah kaum muslim yang taat beribadah namun tidak berakhlakul karimah.
Untuk itulah kami menganjurkan kepada mereka yang berwenang dan sedang memasukkan aspek “etika” kedalam kurikulum pendikan memperhatikan tentang Ihsan atau Tasawuf dalam Islam. Silahkan baca tulisan selengkapnya pada 
Jadi kemerosotan akhlak yang kita temui di negeri kita, bisa jadi karena para ulama telah melupakan tentang tasawuf dalam Islam atau melupakan tentang ihsan, melupakan tentang akhlakul karimah
Akhlakul karimah adalah kesadaran atau perbuatan/perilaku secara sadar dan mengingat Allah.
Perhatikanlah mereka yang korupsi, mafia peradilan/hukum atau yudikatif yang tidak menegakkan keadilan, para penguasa (eksekutif) yang masih kurang peduli dengan nasib rakyatnya, para legislatif yang sebagian mereka masih belajar tentang etika dan belajar membedakan antara uang rakyat dengan uang pribadi, belajar bagaimana mereka mewakili rakyat dengan keadaan rakyat sesungguhnya dan lain lain, tentu sebagian mereka taat menjalankan ibadah sholat, puasa, zakat bahkan ibadah haji namun pada hakikatnya mereka tidak berakhlakul karimah. Mereka tidak mengingat Allah ta’ala ketika mereka hendak melakukan perbuatannya atau mereka tidak mengingat Allah ta’ala ketika mereka hendak bersikap.
Sekarang kita dapat pahami bahwa tasawuf adalah tentang akhlak atau tentang Ihsan.  Sejak dahulu kala,  dalam perguruan tinggi Islam, mata kuliah Tasawuf adalah mata kuliah akhlak. Coba periksa silabus tentang akhlak di berbagai perguruan tinggi Islam misalkan

atau
Jadi intinya bahwa Rasulullah itu bertasawuf karena memang tujuan Rasulullah adalah menyempurnakan akhlak
Rasulullah mengatakan “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya,
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswah hasanah (suri tauladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (Rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S Al-Ahzab : 21).
Urutannya adalah Ilmu –> Amal –> Akhlak
Dengan ilmu kita melakukan amal/perbuatan/ibadah, dengan amal/perbuatan/ibadah yang kita lakukan terbentuk akhlak.
Inilah yang diibaratkan sebagai ilmu padi,  “merunduk ketika semakin berisi“
Sebagaimana yang diketahui, bahwa ajaran ahwal (suatu perolehan dengan karunia dari Allah) dan maqamat (suatu perolehan dengan usaha manusia) yang semuanya itu ditujukan untuk memperbaiki akhlak.
Sedang tujuan perbaiki akhlak adalah untuk membersihkan qalbu yang berarti mengosongkan dari sifat sifat yang tercela (TAKHALLI) kemudian mengisinya dengan sifat sifat yang terpuji (TAHALLI) yang selanjutnya akan memperoleh kenyataan Tuhan (TAJALLI).  Allah ta’ala bertajalli maka kita akan mencapai muslim yang ihsan (muhsin/muhsinin) atau muslim yang dapat seolah-olah melihatNya atau melihat Allah ta’ala dengan hati / akhlak yang suci / keimanan.

Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”.
Dengan demikian maka kita dapat paham bahwa jalan untuk mengenal Allah , tidak dapat ditempuh dengan sekaligus, tetapi adalah sesuai dengan peribadi masing masing yaitu harus ditempuh secara bertingkat tingkat.
Pada tingkat untuk memasuki Ilmu Hakekat dan Ilmu Ma’rifat, berarti memasuki suatu jalan pengetahuan yang bertujuan untuk mengenal sesuatu itu dengan cara bersungguh sungguh, bahwa siapakah manusia itu, siapakah yang menjadikannya dan siapakah yang menciptakan sekalian itu.
Tasawwuf meringkaskan jalan pengetahuan ini dengan berdasarkan sabda Rasulullah SAW
MAN ‘ARAFA NAFSAHU FAQAD ‘ARAFA RABBAHU
(Siapa yang kenal kenal dirinya akan Mengenal Allah)
Firman Allah Taala :
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?“  (QS. Fush Shilat [41]:53 )
Selengkapnya silahkan baca tulisan pada
Dengan tulisan ini, kita dapat memahami adalah sebuah keliruan besar telah terjadi pada ulama-ulama Wahhabi  dan penguasa kerajaan dinasti Saudi yang berpemahaman bahwa muslim yang menjalankan tasawuf  / tentang ihsan / berakhlak adalah telah keluar dari Islam atau telah sesat.  Bahkan sebagaimana yang disampaikan oleh alm Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani bahwa Wahhabi telah memasukkan kedalam kurikulum pendidikan bahwa kelompok Shuufiyyah (aliran–aliran tashowwuf ) adalah syirik dan keluar dari agama. Selengkapnya silahkan baca tulisan pada
Kekeliruan besar yang terjadi di sana adalah karena mereka secara tidak disadari telah berteman dengan orang-orang yang memang telah dicptakan oleh Allah Azza wa Jalla untuk mempunyai  rasa permusuhan kepada kaum muslim

Firman Allah ta’ala yang artinya,
“orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik” ( QS Al Maaidah [5]: 82 ).
Mereka menjadikan orang-orang Yahudi  dan orang-orang Musyrik sebagai teman kepercayaan atau penasehat segala bidang seperti penasehat keamanan, penasehat ekonomi, penasehat pembangunan, penasehat pengelolaan sumber daya alam bahkan penasehat kurikulum pengajaran/pendidikan sebagaimana yang kami sampaikan dalam tulisan pada
Terbuktilah mereka secara tidak sadar telah bersekutu dengan orang-orang yang memang telah dicptakan oleh Allah Azza wa Jalla untuk mempunyai  rasa permusuhan kepada kaum muslim. Tambahan informasi silahkan baca tulisan pada
Pada akhirnya yang harus kita ingat selalu bahwa apapun yang telah terjadi pada para umara/penguasa dan para ulama di wilayah kerajaan dinasti Saudi adalah kehendak Allah ta’ala. Bagi kita umat muslim pada umumnya adalah sebagai cobaan. Kita harus menghadapi cobaan ini dengan perbuatan/sikap yang dicintai oleh Allah Ar Rahmaan dan Ar Rahiim dalam semangat Ukhuwah Islamiyah.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor, 16830

12 Tanggapan
mamo cemani gombong
semoga saudara2 kita dari paham wahabi membaca artikel ini dan sadar kekeliruan mereka dalam mengartikan tasawuf , walaupun mereka ngga komentar …….Amiin



Khanoum
Amiiin….Ya Allaah bantulah kami melalui ujian keikhlasan menuju-Mu.



ucep

Assalamualaikum
Akhirnya saya mendapat blog yang bagus untuk bertasawuf. tujuh tahun sudah saya mencari intinya agama islam, ternyata memang Tasawuf lah intinya agama, saya dulu sering menanyakan kepada diri saya sendiri, kenapa Rasulullah saw sering pergi kegua hira dan selalu menyendiri disana, ada apa gerangan. Tidak hanya sejam dua jam bahkan bisa berlama-lama disana, kalau tidak ada tujuannya mungkin itu tidak masuk akal, pastilah punya tujuan.
Banyak orang yang memandang dunia tasawuf ini hanya sebelah mata dan tidak jarang menuduh tasawuf sesatlah atau apalah, tapi kalau dijalani masya Allah begitu dalam dari arti sebenarnya.



mutiarazuhud

Walaikumsalam
Alhamdulillah,
Allah Azza wa Jalla semata yang berkendak atas segala sesuatu.
Marilah luruskan tujuan hidup kita untuk sampai (wushul) kepada Allah Azza wa Jalla, berkumpul dengan Rasulullah, para Nabi, para Shiddiqin, para Syuhada dan orang-orang sholeh.
Orang-orang sholeh, muslim yang sholeh, muslim yang baik, muslim yang Ihsan, muhsin/muhsinin, muslim yang dapat melihat Allah ta’ala dengan hati atau hakikat keimanan, minimal adalah muslim yang selalu yakin setiap saat bahwa Allah ta’ala melihat segala perbuatan kita
Ikutilah jalan yang lurus , jalannya orang-orang sholeh atau muslim yang ihsan, mereka yang telah diberi ni’mat oleh Allah Azza wa Jalla.
“Tunjukilah kami jalan yang lurus“, (QS Al Fatihah [1]: 6 )
“(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. “(QS Al Fatihah [1]:7 )
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS An Nisaa [4]: 69 )
Selengkapnya silahkan baca tulisan pada



Abu Ihsan
Jakarta, sabtu 5-Maret-2011.

Dari Abu Ihsan – sharing ilmu tasawuf:
Inti dan tujuan dari bahasan kita (tasawuf/suluk/thariqat/atau apapun namanya) adalah “liqa Allah (ketemu/tawajjuh/melihat cahaya Allah, cahaya di atas cahaya QS An Nur:35 )” dengan menggunakan “mata qalbu” yang terkadang disebut “mata hati”, tapi bukan “mata bathin”. Untuk membuka mata qalbu perlu tahu dua kunci non-fisik dan satu kunci fisik di dalam suatu ruang hening tanpa cahaya dan tanpa gangguan. Dan perlu dibimbing oleh seorang guru khusus (murshid). Dengan demikian terbuka jalan untuk memahami diri sendiri (rohani kita) yang dalam bahasa bugis disebut “tellu mallaiseng dua tan’massarang”. Kalau kita rajin bermunajat (berdoa) kepada Allah Yang Maha Bathin sekaligus Yang Maha Dzahir, maka tidak mustahil Allah akan ber “Tajalli” kepada kita saat kita dalam suasana pasrah “merukyat dalam kegelapan pekat gua alkahfi”. Ilmu ini sebenarnya adalah ilmu mencapai tingkatan “Ihsan” yang hakiki sekaligus memperkuat “syahadat kita” yaitu kesaksian yang nyata akan eksistensi Allah Azza wa jalla, des bukan kesaksian yang menduga-duga saja dengan menggunakan “penglihatan akal”. Ilmu tasawuf yang saya maksud ini sebenarnya lebih tepat kalau dilakoni dan dirasakan (zaug), bukan diungkapkan dengan kata-kata dan kalimat-kalimat yang panjang, karena setiap kita mencoba dengan pengungkapan kata dan kalimat – maka akan menimbulkan salah tafsir bagi orang lain yang tidak memahaminya. Jadi tuduhan-tuduhan musyrik atau kafir pihak penganut fanatik “ilmu syariah” kepada kaum suffiyah adalah tidak sepenuhnya benar alias salah kaprah. Memang sebagian kaum suffiyah ada yang menempuh jalan thariqat yang cenderung panjang waktu belajarnya dan terkadang ada (tidak semuanya) yang bid’ah. Cara yang komentator sebutkan di atas adalah “ilmu tasawuf” yang di ajarkan nabi kita Muhammad Sallallahu Alaihi Wassalam kepada para sahabat yang mau (terlebih dahulu infak/sadaqah ke fakir miskin). Kemudian tongkat murshid diberikan ke menantunya Ali bin Abi Thalib, kemudian ke cucunya Hussein, …kemudian di Indonesia ke Sunan Kudus, kemudian di sulawesi selatan via Pangeran Diponogoro. Yang ingin komentator tekankan di sini bahwa “mempelajari ilmu ma’rifatullah/tasawuf” harus diimbangi dengan pendalaman dan pelaksaan “ilmu syariat yang sunnah”. Insyah Allah, dengan memahami dan mengaplikasikan ilmu ma’rifatullah ini: hati akan semakin lembut, akhlak menjadi lebih baik, kita selalu merasa di awasi Allah sehingga bersungguh-sungguh menjauhi larangannya dan menjalankan perintahnya, untuk pegawai akan terasa yang namanya efektifitas “pengawasan Allah” dibanding “pengawasan melekat” yang tidak mampu mencegah perilaku korupsi dalam suatu instansi.



yah dihapus comentnya.
katanya tasawuf = akhlak



mutiarazuhud

oo ini dari @istiqomah myquran. Silahkan diulang.
Insyaallah kami tidak pernah menghapus komentar-komentar di blog kami baik komentar dari pemahaman manapun, kecuali yang berisi kata-kata makian yang sangat kasar. Yang mencelapun masih tetap kami muat.
Kami juga sudah memeriksa di kotak spam, tidak ada yang baru.



mdh2an pertanyaan2 (dialog saya dgn anda) saya yg dihapus (walaupun anda katakan tidak ada yang menghapus) jadi bahan renungan buat anda (zon cs).
Kepada perkataan yang manakah lagi kita akan beriman sesudah Al Quran?

———————————————————————–
zon, mari sama2 kita renungkan dan sikapi ayat2 berikut (silahkan dibuka Qur’an nya):
QS 16.120
QS 33.21
QS 2.165-167
QS 23.51-54
QS 3.103 (100-105)

Mari benar2 kita renungkan dan sikapi QS Al Hujuraat.
——————————————————————-

Hubungan dengan pembinaan untuk jadi orang beriman,
coba kita bercermin pada Al Muzzammil dan Al Muddatstsir
——————————————————————–
Jangan dihapus lagi ya……



mutiarazuhud
Alhamdulillah, kami sudah sampaikan bahwa kami tidak pernah menghapus komentar antum. Sudah kami periksa di folder “tong sampah” tidak ada satupun komentar dari antum.
Mengenai nash-nash Al-Qur’an yang telah antum sampaikan mohon disampaikan pemahaman antum terkait tulisan kami, sehingga kita dapat berdiskusi dengan baik.



yang anda perlukan adalah berkaca dengan cermin yang dibawa Nabi Muhammad SAW, agar anda bisa melihat dengan jelas bayangan anda di cermin apa adanya, dan anda pun dituntut untuk jujur ketika bercermin.
tulisan anda “Rasulullah bertasawuf” benar2 keluar dari pemikiran yang rusak dan benar2 sudah memfitnah Allah dan Rasul Nya.



elfan
Katakanlah: “Hai orang-orang (keturunan) Yahudi, jika kamu mendakwakan (kelompok, golongan kamu) bahwa sesungguhnya kamu sajalah kekasih Allah bukan manusia-manusia (kelompok atau golongan) yang lain, maka harapkanlah kematianmu, jika kamu adalah orang-orang yang benar”. (QS. 62:6)
Tasawuf Nabi Muhammad SAW hanyalah menerapkan prinsip-prinsip IHSAN, sembahlah Allah SWT seolah-oleh kamu melihat-Nya, tapi yakin dan pastilah bahwa kamu tidak bisa melihat Allah SWT karena itu yakin dan pastikan bahwa Allah SWT melihat kamu.
Kalau prinsip ihsan ini diterapkan dalam diri kita masing-masing, ya orang-orang yang korupsi dalam bentuk apapun sifanya, mencuri fisik, benda dsb. maupun non-fisik, Insya Allah kita tidak akan temukan.



mbah win

BISMILLAH…….saudara2 muslim,apakah rosulullah pernah mengomentari sahabat2nya dg kata2 yang kasar?yang ana tau rasulullah menyempurnakan yang belum benar,dan tidak mengajarkan saling mengatakan kesesatan.beribadahlah sesuai keyakinan anda,seperti keyakinan anda terhadap rasulullah(sebagaimana anda melihat rasulullah beribadah).baik menurut pemahaman anda sendiri maupun melalui petunjuk ulama2 yang anda yakini kebenaranya.berhentilah saling menyalahkan!mari gunakan hati dan fikiran kita untuk selalu mengingat Allah dan beribadah yang baik yang membawa hikmah yang baik bagi orang lain.hati2 dalam berprasangka,jangan sampai menyakiti saudara se muslim,saling memaafkan,dan saling bernasihat dalam kebaikan.masih banyak saudara2 kita yang hidup minimalis agama,ilmu,dan materi.ajari mereka2 dengan ilmu2 pengetahuan dan agama agar mereka bisa hidup dengan rukun dan menuju keselamatan dunia dan akhirat.mohon maaf bila ada kesalahan,dan mari saling bernasehat dalam kebaikan dengan kesabaran.
wassalaamu alaikum warohmatulloohi wabarokaatuhu.
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar